Supriyono
Mahasiswa Pascasarjana IAIN Raden Intan Lampung
Dari segi hukum, kelangsungan pendidikan keagamaan mendapat kedudukan cukup kuat. Namun, "porsi" yang diberikan pendidik di sekolah masih jauh dari harapan karena target waktu yang dijatahkan tidak lebih dua jam seminggu dari keseluruhan paket kurikulum.
Lebih kacau lagi, dalam prakteknya banyak siswa menengah yang sengaja tidak masuk jam pelajaran agama. Belum lagi materi yang diajarkan; jauh dari upaya mendukung peserta didik bertakwa, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur.
Ledakan-ledakan perkelahian antarsesama pelajar, pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, berani dan melawan terhadap guru/orang tua dan lainnya menjadi cermin belum berhasilnya pendidikan agama di sekolah. Kegagalan dunia pendidikan juga tak luput dari pengaruh hiburan misalnya televisi, video, sinetron, bacaan-bacaan yang tidak mendukung pendidikan agama. Semua itu sesungguhnya dapat memengaruhi sikap dan perilaku anak didik yang sadar atau tidak sadar pada gilirannya akan mencetak sifat dan akhlak anak berbuat tidak baik.
Kriris multidimensi seperti dekadensi moral sedang terjadi di Tanah Air. Ini akibat usaha pemisahan-pemisahan kehendak-kehendak Allah yang bersemayam dalam kehendak hati nurani manusia dengan kehendak pribadi manusia yang cenderung egois. Hidupnya jauh menyimpang dari garis edar yang fitrah. Tujuan hidupnya melawan mekanisme alam serta mencoba menentang kekuasaan Maha Perkasa.
Kerusakan di darat dan di laut disebabkan tangan-tangan manusia, yang jauh dari sentuhan akhlakul karimah. Sebaliknya hanya mengandalkan nafsu meraih cita-cita hingga menghalalkan segala cara, tidak peduli merusak ekosistem alam, lingkungan dan makhluk lainnya di muka bumi ini.
Pendidikan agama yang diberikan karena itu harus menyentuh aspek akidah dan akhlak peserta didik. Memang dalam kurikulum, pendidikan agama Islam sudah dibagi dalam sub-sub pelajaran yang akan diajarkan, misalnya bidang Alquran, akidah, akhlak, tarik Islam, dan muamalah.
Paling tidak, bidang akidah dan akhlak harus diprioritaskan. Isinya tentu lebih banyak bersifat nasihat yang menyentuh hati nurani, dari pada ilmu yang menyentuh akal pikiran.
Mengasah otak memang penting, bahkan saking pentingnya banyak lembaga pendidikan yang mengadakan kompetisi atau lomba yang berorientasi pada kecerdasan akal. Sedikit sekali kita temukan lomba yang berorientasi pada kecerdasan hati dan spiritual. Padahal kecerdasan akal tidak otomatis membawa anak itu menjadi baik dan bermoral.
Bahkan keberhasilan seseorang tidak dipengaruhi kecerdasan intelektualnya, justru banyak ditentukan kecerdasan emosi dan spiritual (kecerdasan hati dan agama). Maka tidak heran banyak anak yang tidak pandai, tapi ia sukses karena ia mempunyai kecerdasan hati dan berakhlak mulia.
***
Dewasa ini, pendidikan keagamaan sudah tidak lagi menjadi hal utama dalam proses belajar mengajar, khususnya pendidikan agama Islam. Ditambah lagi dengan tidak dimasukkannya mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dalam subjek ujian nasional (UN). Peserta didik akan lebih mengutamakan enam subjek UN dibandingkan mempelajari Pendidikan Agama Islam yang nantinya tidak mendukung angka-angka pencapaian standar kelulusan.
Di sini terjadi salah persepsi dengan mata pelajaran agama Islam. Selama ini, di sekolah kita hanya mempelajari agama berdasarkan kurikulum yang ditetapkan pemerintah untuk mencari angka dan nilai dalam waktu belajar 2 x 45 menit dalam satu minggu.
Dalam pendidikan di sekolah, pada dasarnya semua guru terlibat dan bertanggung jawab dalam upaya membentuk sikap dan perilaku peserta didiknya menjadi baik, walaupun tidak mustahil selama ini guru agama yang dianggap paling berperan dan bertanggung jawab terhadap sikap dan perilaku anak didik di sekolah.
Persoalannya, bagaimana pendidikan agama di sekolah dapat menciptakan suasana yang dapat memotivasi anak untuk gandrung (cinta) pada materi agama juga menciptakan kebiasaan hidup sehari-hari dengan akhlak mulia.
Kebiasaan yang baik dimulai dari sekolah. Ini akan menjadi kiat yang baik dalam mendidik akhlak si anak. Misalnya, di sekolah dibiasakan salat berjemaah, membaca Alquran sebelum jam pelajaran, doa dan zikir bersama tiap minggu, diadakan lomba-lomba keagamaan dan lainnya. Ini dapat memotivasi anak untuk ikut andil dalam merubah pola pikir dari antiagama menjadi cinta agama.
Pendidikan kita dengan sekolah sebagai ujung tombaknya diharapkan mampu menumbuhkan manusia berkepribadian sehingga dapat mengikis mentalitas masyarakat yang semakin terkontaminasi budaya luar. Untuk menumbuhkan kepribadian peserta didik dalam interaksi pembelajaran dibutuhkan peran signifikan guru dan optimalisasi budaya sekolah. Peserta didik hendaknya diarahkan untuk menemukan jati dirinya dan kemampuan intelektual maupun bakat-bakat yang dimilikinya, jadi tidak sekadar menerima pelajaran.
Setiap peserta didik harus mengalami bahwa ia dihargai karena dia sendiri bukan karena prestasi atau orang tuanya. Mereka juga harus diarahkan untuk bersikap aktif, memikirkan apa yang dipelajari, kritis serta dewasa dalam menilai masalah yang dihadapi. Peserta didik juga perlu diajak mencermati problematika soial, politik, budaya, ekonomi dan hal-hal yang terjadi di kelas atau masyarakatnya agar tumbuh sikap dan perilaku sosial dan humanismenya.
Dengan demikian, sistem pengajaran yang selama ini diterapkan perlu dievaluasi. Mengingat anak sekarang lebih banyak menyerap input-input dari bermacam-macam informasi dan pengalaman yang berkembang. Sementara metode dan penyajian materi yang diberikan oleh guru-guru kadang-kadang monoton tidak bisa memotivasi anak dalam belajar.
Sumber: http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2009032706432476
Tidak ada komentar:
Posting Komentar