Selasa, 19 Mei 2009

PENDIDIKAN POPULAR Membangun Kesadaran Kritis

Bagian 1. Membongkar Paradigma

Nasibnya Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan boleh jadi merupakan tenaga terkuat yang pernah dilihat umat manusia. Kekuatan dahsyat ilmu pengetahuan acap kali justru sangat membahayakan, khususnya bila digunakan oleh makhluk serakah, irasional dan kompulsif dengan penunjang peradaban yang tidak memadai seperti manusia.

Segala macam bentuk usaha manusia selalu didasarkan pada tujuan, tapi tujuan dan jalan menuju jalan tersebut selalu dipilih berdasarkan nilai dan keyakinan yang dimiliki. Nilai adalah hal yang sangat penting bagi manusia, karena nilai merupakan hal yang memberi makna terhadap kehidupan yang dimiliki manusia, nilai adalah jiwa yang memberi perasaan kepada manusia bahwa dialah seorang manusia, nilai adalah esensi dari keberadaan manusia itu sendiri.

Ilmu pengetahuan dimulai dengan sarat nilai, dengan sarat tujuan yang amat mulia. Ilmu pengetahuan lahir melalui perjuangan yang amat berat, pengorbanan ribuan jiwa manusia, jiwa-jiwa yang ikhlas berkorban demi keyakinan mereka, menghadapi ribuan jiwa yang melawan untuk keyakinan mereka. Perjuangan terhadap kebohongan serta pembebasan dari belenggu kebodohan dan ketidaktahuan.

Setiap sistem terkandung nilai dan kepercayaan tersendiri. Semuanya oleh-boleh saja dan memang dibutuhkan agar sistem itu dapat berjalan seoptimal mungkin. Masalahnya dengan sistem yang memiliki tata nilai sendiri seperti yang telah berulang-ulang kali terjadi dalam sejarah, yaitu bahwa nilai-nilai sempit sistem itulah yang menggantikan nilai luhur manusia sehingga tujuannya pun menjadi tujuan yang egois sistem itu sendiri. Bahaya terbesar suatu sistem adalah dogmatisasi nilai-nilai sempit keyakinan yang seharusnya berifat sementara dan elatis bahkan plastis terhadap perkembangan jaman. Dan inilah yang sekarang terjadi pada ilmu pengetahuan.

Ilmu pengetahuan telah begitu jauh keluar dari jalur aslinya, ilmu pengetahuan telah kehilangan maknanya bagi manusia. Ilmu pengetahuan sekarang tidak pernah memberi manfaat terhadap manusia, ia pun tidak pernah memberi jawaban kepada penciptanya, hanyalah alasan ataupun menggantikan arah pembahasan yang sama hampanya. Ilmu pengetahuan pun kini justru digunakan oleh sistem-sistem yang lebih rakus dan jahat dengan tujuan picik mereka. Sistem-sistem seperti politik dan ekonomi yang berhasil menguasai jalan dan arah perkembangan.

Politik dan ekonomi berkolaborasi dengan menggunakan ilmu pengetahuan untuk mencapai tujuan gila, dengan nilai gila mereka menghancurkan tujuan mulia dan nilai mulia kemanusiaan. Jelaslah bahwa saat ini sudah ampai pada waktunya bagi manusia untuk bangkit melawan kekuatan-kekuatan di atas serta mencoba mengarahkan nasibnya ke jalur yang lebih menjanjikan pemenuhan tujuannya. Sudah waktunya bagi manusia untuk memikirkan ulang paradigma politik, ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan bahkan kebudayaan, menemukan permasalahannya dan mengganti serta mengubahnya agar cocok dengan keinginannya.

Ilmu pengetahuan adalah kekuatan yang bisa sangat bermanfaat bagi manusia jika digunakan dengan cara yang bijaksana. Ilmu pengetahuan juga harus melepaskan diri dari sistem-sistem yang hanya akan merugikan manusia pada jangka panjang.

Filsafat dan Ideologi Pendidikan

Filsafat yang ingin dipahami bersama bertolak dari kehidupan nyata. Upaya tersebut dapat dimulai dengan pertanyaan yang muncul dari persoalan penindasan dan ketidakadilan. Dehumanisasi bersifat mendua, dalam pengertian terjadi atas diri mayoritas kaum tertindas dan juga atas diri minoritas kaum penindas. Keduanya menyalahi kodrat manusia sejati.

Humanisasi menjadi satu-satunya pilihan bagi kemanusiaan, karena walaupum dehumanisasi adalah kenyataan yang terjadi sepanjang sejarah peradaban manusia, namun ia bukanlah suatu keharusan sejarah. Secara dialektis suatu kenyataan tidak mesti menjadi suatu keharusan.

Paradigma Pendidikan dan Implikasinya Terhadap Metode dan Praktik Pendidikan.

Peran pendidikan terhadap sistem dan struktur sosial sangat bergantung pada paradigma pendidikan yang mendasarinya. Untuk memahami kedua paradigma tersebut, perlu dipahami terlebih dahulu ideologi sosial dan implikasinya terhadap berbagai teori pendidikan yang dianut masing-masing paradigma. Untuk itu pembahasan paradigmatik ini akan difokuskan pada aspek paradigma teori pendidikan, Implikasi paradigma pendidikan terhadap metodologi pendidikan dan Implikasi paradigma terhadap model pendekatan dan teknik pendidikan.

Pemetaan aliran pendidikan yang digunakan mengikuti Giroux and Aronowitz (1985) yang mengkategorikan pendekatan pendidikan menjadi tiga aliran yaitu, pendekatan konservatif, liberal dan kritis.

Paradigma Konservatif, bagi kaumnya ketidaksederajatan masyarakat merupakan suatu hukum keharusan alami, suatu hal yang mustahil dihindari dan sudah merupakan ketentuan sejarah atau bahkan takdir Tuhan. Perubahan sosial bagi mereka bukanlah hal yang harus diperjuangkan, karena perubahan hanya akan membuat manusia lebih sengsara. Dengan pandangan seperti itu, kaum konservatif klasik tidak menganggap rakyat memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk mengubah kondisi mereka.

Paradigma konservatif cenderung lebih menyalahkan subjeknya. Bagi kaum konservatif, mereka yang menderita, yakni orang-orang miskin, buta huruf, kaum tertinda dan mereka yang dipenjara, menjadi demikian karena salah mereka sendiri. Karena banyak orang lain yang ternyata bisa bekerja keras dan berhasil meraih sesuatu. Banyak orang pergi ke sekolah dan belajar untuk berperilaku baik dan oleh karenanya tidak dipenjara. Kaum konservatif sangat melihat pentingnya harmoni dalam masyarakat dan menghindari konflik dan kontradiksi.

Paradigma Liberal, golongan kedua adalah kaum liberal yang berangkat dari keyakinan bahwa memang ada masalah di masyarakat, tetapi bagi mereka, pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Dengan keyakinan seperti itu, tugas pendidikan juga tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan politik dan ekonomi.

Kaum liberal selalu berusaha untuk menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan dengan usaha reformasi ‘kosmetik’. Hal yang umum dilakukan yaitu seperti membangun kelas dan fasilitas baru, memodernkan peralatan sekolah dengan pengadaan komputer yang lebih canggih dan laboratorium, serta berbagai usaha untuk menyehatkan rasio murid-guru.

Kaum liberal dan konservatif berpendirian bahwa pendidikan adalah apolitik, dan “excellence” haruslah merupak target utama pendidikan. Kaum liberal beranggapan bahwa masalah masyarakat dan pendidikan adalah dua masalah yang berbeda. Mereka tidak meliahat kaitan pendidikan dengan struktur kelas, dominasi politik dan budaya, serta diskriminasi gender di masyarakat luas.

Pendidikan bagi salah satu aliran liberal yaitu ‘structural functionalisme’ justru dimaksudkan sebagai sarana untuk menstabilkan norma dan nilai masyarakat. Pendidikan dimaksudkan sebagai media untuk mensosialisasikan dan memproduksi nilai-nilai tata susila keyakinan dan nilai-nilai dasar agar masyarakat berfungsi secara baik.

Pendekatan liberal mendominasi segenap pemikiran tentang pendidikan formal seperti sekolah, maupun pendidikan non formal seperti pelatihan. Akar pendidikan liberalisme ini suatu pandangan yang menekankan pengembangan kemampuan, perlindungan hak, dan kebebasan (freedom), serta mengidentifikasi problem dan upaya perubahan sosial secara inkremental demi menjaga stabilita jangka panjang.

Konsep pendidikan tradisi liberal berakar dari cita-cita Barat tentang individualisme. Pengaruh liberalisme dalam pendidikan dapat dianalisa dengan melihat komponen-komponennya. Komponen pertama adalah pengaruh filsafat Barat tentang model manusia universal yakni model manusia Amerika dan Eropa. Model ideal mereka adalah manusia “rasionalis liberal” dan “individualis”.

Pengaruh liberal terlihat dalam pendidikan yang mengutamakan prestasi melalui proses persaingan antar murid.Perangkingan untuk menentukan murid terbaik adalah implikasi dari paham ini. Pengaruh pendidikan liberal ini juga dapat dilihat dalam berbagai pendekatan “andragogy” seperti dalam training management, kewiraswastaan, dan manajemen lainnya. Berbagai pelatihan pengembangan masyarakat (community development) seperti usaha bersama, pertanian dan lain sebagainya, umumnya berpijak pada paradigma pendidikan liberal ini.

Positivisme berpengaruh dalam pendidikan liberal. Positivisme pada dasarnya adalah ilmu sosial yang dipinjam dari pandangan, metode dan teknik ilmu alam memahami realitas. Positivisme percaya bahwa riset sosial ataupun pendidikan dan pelatihan harus didekati dengan metode ilmiah yang objektif dan bebas nilai. Pengetahuan selalu menganut hukum ilmiah yang bersifat universal, prosedur harus dikuantifisir dan diversifikasi dengan metode “scientific”. Positivisme mensyaratkan pemisahan fakta dan nilai menuju pemahaman obyektif atas realitas sosial.

Paradigma Kritis/Radikal, pendidikan bagi kaum kritis merupakan arena perjuangan politik. Penganut paradigma kritis menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam politik ekonomi masyarakat dimana pendidikan berada.

Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang untuk menumbuhkan sikap kritis terhadap sistem dan struktur yang tidak adil, melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil. Pendidikan bersikap objektif maupun berjarak dengan masyarakat (detachment) seperti anjuran positivisme.

Visi pendidikan adalah melakukan kritik terhadap sistem dominan sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk menciptakan sistem sosial baru yang lebih adil. Tugas utama pendidikan adalah ‘memanusiakan’ kembali manusia yang mengalami dehuminasi karena sistem dan struktur yan tidak adil.

Implikasi ketiga pandangan pendidikan tersebut terhadap metodologi pendekatan pendidikan dapat dilihat dari analisis Freire (1970) yang membagi ideologi pendidikan dalam tiga kerangka yang didasarkan pada kesadaran ideologi masyarakat. Secara lebih rinci Freire menjelaskan proe dehumanisasi dengan analisa kesadaran manusia menjadi: kesadaran magis (magical consciousness), kesadaran naif (naival consciousness) dan kesadaran kritis (critical consciousness).

Kesadaran magis, yaitu kesadaran masyarakat yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Kesadaran magis lebih melihat faktor di luar manusia (natural maupun supranatural) sebagai penyebab ketakberdayaan. Pendidikan fatalistik yaitu dimana proses belajar mengajar tidak mampu menganalisis suatu permasalahan. Murid secara dogmatik menerima ‘kebenaran’ dari guru, tanpa ada mekanisme untuk memahami ‘makna’ ideologi dari setiap konsepsi atas kehidupan masyarakat.

Kesadaran naif, melihat ‘aspek manusia’ sebagai akar penyebab masalah masyarakat. Masalah etika, kreativitas, dan need for achievement’ dalam kesadaran ini dianggap sebagai penentu perubahan sosial. Pendidikan dalam konteks ini tidak mempertanyakan sistem dan struktur, bahkan sistem dan struktur yang ada adalah sudah baik dan benar. Tugas pendidikan adalah bagaimana membuat dan mengarahkan agar murid bisa mauk beradaptasi dengan sistem yang sudah benar tersebut.

Kesadaran kritis, lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Paradigma kritis dalam pendidikan melatih murid untuk mampu mengidentifikasi ‘ketidakadilan’ dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis tentang proses kerja sistem dan struktur, serta bagaimana mentransformasikannya. Tugas pendidikan dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan kesempatan agar peserta pendidikan terlibat dalam suatu proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik.

Implikasi Paradigma Pendidikan terhadap Pendekatan Pendidikan: Sentralistik vs Partisipatif

Pendekatan Sentralistik sebagai sei mendidik anak memiliki pengertian yang lebih luas bahwa proses pendidikan menempatkan objek pendidikannya sebagai ‘anak-anak’, meskipun usia biologis mereka sudah termasuk ‘dewasa’. Konsekuensi logis dari pendekatan ini adalah menempatkan peserta didik sebagai murid yang pasif. Kegiatan belajar mengajar model ini menempatkan guru sebagai inti terpenting, sementara murid menjadi bagian pinggiran.

Pendekatan partisipatif atau pendekatan pendidikan ‘orang dewasa’ adalah pendekatan yang menempatkan peserta belajar sebagai orang dewasa. Murid sebagai orang dewasa diasumsikan memiliki kemampuan aktif untuk merencanakan arah, memilih bahan dan materi yang dianggap bermanfaaat, memikirkan cara terbaik untuk belajar, menganalisa dan menyimpulkan serta mampu mengambil manfaaat pendidikan. Fungsi guru adalah sebagai “fasilitator”, dan bukan menggurui.

Pendidikan kritis mensyaratkan penggunaan partisipatif sebagai pendekatan ketimbang pendekatan sentralistik. Secara prinsipil meletakkan ‘anak didik’ sebagai ‘objek’ pendidikan adalah problem dehumanisasi. Sebaliknya pendidikan liberal yang bersifat individualis meskipun menggunakan pendekatan partisipatif namun pada dasarnya menjadikan pendidikan sebagai proses ‘penjinakkan’ untuk menyesuaikan peserta didik dengan sistem dan struktur yang sudah mapan.

Banyak juga pendidikan yang bertujuan untuk membangkitkan keadaan kritius namun dilakukan dengan pendekatan sentralistik ataupun indoktrinasi. Indoktrinasi adalah antipendidikan dan pembunuhan sikap kritis manusia sehingga bertentangan dengan hakikat pendidikan kritis. Sehingga dengan demikian pendidikan kritis yang dilakukan secara sentralistik pada dasarnya adalah kontradiktif dan antipendidikan.

Menuju Pendidikan Untuk Transformasi Sosial

Dalam konteks lokal, paradigma pendidikan liberal telah menjadi bagian dari sistem developmentalisme, yang ditegakkan dari suatu asumsi bahwa akar ‘underdevelopment’ dikarenakan rakyat tidak mampu terlibat dalam sistem kapitalisme.

Pendidikan dengan agenda liberal seperti itu tidak memungkinkan terjadinya penciptaan ruang bagi sistem pendidikan untuk secara kritis mempertanyakan tentang struktur ekonomi, politik, ideologi, gender, lingkungan serta hak-hak manusia dan kaitannya dengan posisi pendidikan.

Tidak ada ruang bagi pendidikan untuk menyadari relasi pengetahuan dan kekuasaaan (knowledge/power­ relation) sebagai bagian dari masalah demokratisasi. Tanpa mempertanyakan hal itu tidak saja pendidikan gagal menjawab akar permasalahan masyarakat, tetapi justru melanggengkannya. Karena merupakan bagian pendukung dari kelas penindas dan dominan. Pendidikan dalam konteks itu tidaklah mentransformasikan struktur dan sistem dominasi tetapi sekedar menciptakan agar sistem yang ada berjalan baik. Dengan kata lain pendidikan justru menjadi bagian dari masalah dan gagal menjadi solusi.

Setiap usaha pendidikan perlu melakukan transformasi hubungan antara fasilitator dengan peserta pendidikan. Agar dapat melakukan transformasi terhadap setiap usaha pendidikan, perlu dilakukan analisis struktural dan penempatan posisi lokasi pemihakkan pendidikan dan pelatihan dalam struktur tersebut. Usaha pendidikan dan pelatihan juga perlu melakukan identifikasi isu strategis dan menetapkan visi serta mandat sebagai gerakan pendidikan.

Paradigma kritis juga berimplikasi terhadap metodologi dan pendekatan pendidikan serta proses belajar mengajar yang diterapkan. Pandangan kritis juga melakukan transformasi hubungan guru-murid dalam perspektif yang didominasi dan mendominasi yaitu guru menjadi subjek pendidikan dan pelatihan sementara murid menjadi objeknya.

Paradigma pendidikan dan pelatihan kritis tidak saja ingin membebaskan dan mentransformasikan pendidikan dengan struktur di luarnya, tetapi juga bercita-cita mentransformasikan relasi knowledge/power dan dominasi hubungan yang ‘mendidik’ di dalam diri pendidikan sendiri. Usaha pendidikan dan pelatihan sesungguhnya secara struktural adalah bagian dari sistem sosial, ekonomi, dan politik yang ada.

Pendidikan Kritis, Apa Pula Itu?

Penidikan kritis pada dasarnya merupakan salah satu paham dalam pendidikan yang mengutamakan pemberdayaan dan pembebasan. Ketika sampai pada pembahasan tentang kaitan antara pendidikan dan peranannya dengan perubahan sosial, mereka terbagi menjadi dua golongan:

Golongan pertama adalah penganut paham ‘reproduksi’. Golongan ini sangat pesimis bahwa pendidikan mempunyai peran untuk perubahan sosial menuju transformasi sosial. Golongan ini menganggap bahwa pendidikan dalam sisitem kapitalisme berperan untuk mereproduksi sistem itu sendiri. Pendidikan akan melahirkan peserta didik yang akan memperkuat sistem dalam masyarakat.

Golongan kedua adalah penganut paham ‘produksi’. Golongan ini meyakini ahwa pendidikan mampu menciptakan ruang untuk tumbuhnya resistensi dan subversi terhadap sistem yang dominan. Bagi penganut paham ini pendidikan senantiasa mempunyai apek pembebasan dan pemberdayaan, jika dilakukan melalui proses yang membebaskan serta dilakansakan dalam kerangka membangkitkan kesadaran kritis. Pandangan pendidikan seperti itulah yang akan melahirkan aliran pendidikan yang kita sebut sebagai pendidikan kritis.

Proses pendidikan merupakan proses refleksi dan aksi (praksis) dari seluruh tatanan dan relasi sosial. Pendidikan juga merupakan prose refleksi dari peran dan cara kerja sisitem dan struktur sosial yang menyumbangkan ketidakadilan dan ketidaksetaraaan sosial.

Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang untuk mengembangkan sikap kritis terhadap sistem dan struktur yang diskriminatif terhadap kaum tertindas dan kaum tersingkirkan seperti kaum miskin, kaum buruh, para penyandang cacat, atau mereka yang memiliki kemampuan berbeda, kaum perempuan dan anak-anak. Pendidikan juga memiliki tugas lain untuk melakukan proses dekonstruksi dan aksi praktis maupun strategis menuju sistem sosial yang sensitif dan nondiskriminatif.

Pendidikan kritis sangat memerlukan perspektif kelas dalam kegiatan analisis. Analisis kelas merupakan perangkat dalam memahami sistem ketidakadilan sosial. Hampir semua golongan masyarakat menjadi korban dalam sistem ketidakadilan kelas, namun karena mayoritas korban ketidakadilan kelas adalah masyarakat bawah, maka seolah-olah analisis kelas hanya menjadi alat perjuangan golongan miskin. Analisis kelas mestinya bisa menjadi media untuk memahami dan membongkar sistem ketidakadilan sosial secara lua. Tanpa analisis kelas perubahan sosial akan mengalaki reduksi, dan hanya memusatkan perhatian pada perubahan manusianya saja.

Analisis kelas dalam proses pendidikan difokuskan pada relasi struktur sosial ketimbang pada korban eksploitasi. Sehingga agenda utama pendidikan kritis tidak sekedar menjawab ‘kebutuhan praktis’ untuk mengubah kondisi golongan miskin, melainkan juga menjawab kebutuhan strategis golongan miskin, yakni memperjuangkan perubahan posisi golongan miskin. Agenda terebut termasuk melakukan counter hegemoni dan counter wacana terhadap ideologi sosial yang telah mengakar dalam keyakinan.

Warisan Foucault bagi Pendidikan Kritis

Pengruh lain yang mewarnai aliran pendidikan kritis diantaranya berasal dari pemikiran Foucault. Dalam perkembangan pengetahuan, pemikiran Foucault kelihatannya paling banyak mewarnai ilmu-ilmu sosial khususnya sosiologi dan praktek perubahan sosial, meskipun terdapat juga pengaruh pemikiran Foucault dalam bidang sastra dan arsitektur.

Pikiran Foucault berpengaruh terhadap perkembangan “Postmodern sociology”, yakni suatu analisis terhadap masyarakat modern dan menggunakan konsep dan perspektif modern. Secara substansial sesungguhnya Foucault berhasil membuat sosiologi lebih sensitif terhadap power relation atau relasi kekuasaan dan cara kerja dominasi dalam relasi kekuasaan (power). Relasi ini teranyam dalam setiap aspek kehidupan, termasuk kehidupan pribadi.

Pikiran tersebut menantang sosiologi yang cenderung memisahkan dan mengabaikan “kekuasaan” dalam unia ilmu pengetahuan, dan berasumsi bahwa pengetahuan itu netral, objektif dan tidak berdosa. Sosiologi yang cenderung memandang bahwa akar kekuasaan terletak pada negara ataupun kelas, dianggap oleh Foucault sebagai pengingkaran kenyataan, karena baginya relasi kekuasaan terjadi pada hampir setiap aspek kehidupan sehari-hari.

Pendek kata pandangannya memberi pengaruh besar tehadap pendidikan kritis sehingga melahirkan paham yang dikenal dengan pendidikan sebagai counter terhadap diskursus dominan yang memberi inspirasi kepada gerakan budaya perlawanan. Pemahamannya tentang ‘genealogy’ membawa pengaruh terhadap pendidikan kritis untuk mendorong pemberdayaan rakyat lokal dan akar rumput melalui penyembuhan atau pemuliaan pengetahuan masyarakat yang “ditundukkan” (subjugated) dan didiskualifikasi oleh kekuasaan atau pengetahuan yang dominan. Pengetahuan mungkin bisa menjalankan tugas transformasi kalau pengetahuan dapat membongkar dan menghentikan relasi kekuasaan.

Pendidikan sudah lama menjadi penyelenggara dan pelanggeng dominasi melalui diskursus yang ada dalam pengetahuan modern. Bahkan banyak proses pendidikan yang diselenggarakan oleh kalangan NGO, dan juga aktivis pemberdaya rakyat lainnya, tanpa mereka sadari ternyata menjadi bagian dari penundukan masyarakat dan menjadi bagian dari diskursus modern serta pembangunan model neoliberalisme. Oleh karena itu perspektif pendidikan kritis secara sadar menjadi bagian dari proses counter terhadap diskursus dominan.

Pendidikan Kritis sebagai Warisan Paradigma Pembebasan

Pendidikan kritis merupakan lanjutan dari gerakan pembebasan. Maka pendidikan kritis dan pembebasan pada dasarnya merupakan dua hal yang tidak isa dipisahkan. Kata “Pembebasan” dalam pendidikan kritis memiliki konteks makna yang berubah-ubah dari satu formasi sosial ke formasi sosial lainnya, sesuai dengan konteks dan bentuk penindasan dan ketidak adilan di jamannya.

Bagi Erich Fromm, Ekspresi spontanitas emosional menjadi ruh dari “pembebasan”. Pendirian akan perlunya melepaskan pontanitas emosional ebagai prasyarat bagi prose pembebasan ini memberikan legitimasi teoritik akan kaitan dari relevansi dalam pendidikan kritis. Bahkan Formm memberikan posisi yang sangat strategis bagi para seniman dan budayawan dalam proses pembebasan rakyat mereka.

Bukan saja karena para seniman menjadi elemen penting dalam mengekspresikan emosi secara spontan, namun juga para seniman memerankan diri sebagai fasilitator bagi kaum tertindas untuk secara kolektif membongkar jeratan sosial budaya yang membungkam dan mengekspresikan spontanitas emosional. Sungguhpun demikian, para seniman seperti halnya pemikir ataupun aktivis revolusioner yang lain, sering menghadapi tantangan ahkan penindasan.

Tantangan terebut tidak hanya datang dari penguasa, tetapi juga dari para elit dan intekeltual serta budayawan burjois pembela status quo dan culture of silence yang dengan kapasitas represi dan hegemonik, memungkam ekspresi spontanitas emosional seniman yang menjadi ruh dari pembebasan tersebut. Tantangan lain datang juga dari rakyat kaum tertindas sendiri akibat prose domestifikasi, kooptasi, dan hegemoni. Dalam konteks inilah ekspresi seni memiliki hakikat sebagai media dan proses pembebasan.

Fanon secara baik melakukan analisis kritis terhadap para elit dan kelas menengah dari bangsa-banga yang tengah memasuki era neokolonial pasca penjajahan yang disebutnya menderita kemalasan dan ketamakan intelektual. Mereka dalam posisi yang diuntungkan oleh kolonialisme dan berkesempatan menikmati pendidikan di universitas dan menerima pendidikan bangsa-bangsa penjajah setelah berakhirnya kolonialisme, dan bukannya menularkan pengetahuan dan melakukan pendidikan kritis kepada rakyat jelata. Para elit tersebut justru meneruskan relasi neokolonialisme dan terus menjual negeri mereka sebagai bahan mentah murah bagi perkembangan industri negara bekas penjajah mereka. Bahkan mereka membangun tempat-tempat peristirahatan mewah untuk menampung liburan bangsa bekas penjajah mereka. Mereka bergaya, berpakaian dan berselera meniru selera bangsa yang menjajah mereka.

Ketika harus menjawab pertanyaan bagaimana proses pembebasan dilakukan, Fanon memfokuskan gagasannya melalui pendidikan politik rakyat untuk membangun budaya nasional bangsa sebagai alternatif sekaligus sebagai sarana untuk melakukan aksi perlawanan kultural terhadap budaya penjajah, yang pada jaman dan konteks waktu gagasan itu dikembangkan, budaya penjajah yang dimaksud adalah budaya Barat. Lewat gagasan inilah untuk pertama kalinyan di Afrika terjadi pengembangan kultur lokal sebagai arena strategis untuk kemerdekaan.

Akhirnya, tradisi pendidikan kritis juga sangat berhutang pada Paulo Freire sebagai peletak dasar filosofinya. Freire tokoh pendidikan kritis yang meletakkan dasar “pendidikan bagi kaum tertindas” asal Brazil, memberikan makna pembebasan lebihsebagai kebangkitan kesadaran kritis masyarakat. Dengan kata lain, Freire mengungkapkan bahwa hakikat pembebasan adalah suatu proses bangkitnya kesadaran kritis rakyat terhadap sistem dan struktur sosial yang menindas.

Meskipun pendidikan yang dikembangkan oleh Freire mulanya dikembangkan dan dipraktikan dalam rangka pemberantasan buta huruf, namun meningkatkan kesadaran kritis, atau yang dikenal di Indonesia sebagai proses ‘konsientisasi’, merupakan hakikat pendidika Freire. Analisis Freire berangkat dari kajiannya tentang proses dominasi budaya dan politik terhadap rakyat yang telah melahirkan ideologi rakyat tertindas sebagai akibat dari hegemoni.

Oleh karenanya dalam mengembangkan pemikiran ideologi pendidikannya, Freire memulai dengan mengkaji watak budaya dari tiga kerangka kesadaran ideologi masyarakat tertindas. Sungguhpun Paulo Freire lebih dikenal sebagai tokoh pendidikan, namun kerangka analisisnya banyak digunakan untuk melihat kaitan ideologi dalam perubahan sosial dengan pemberdayaan masyarakat.

Tema pokok gagasan Freire sesungguhnya mengacu kepada suatu landasan keyakinan bahwa pendidikan pada dasarnya merupakan “proses memanusiakan manusia kembali”. Gagasan ini berangkat dari suatu analisis bahwa sistem kehidupan sosial, politik. ekonomi, dan budaya, membuat masyarakat mengalami proses dehumanisasi.

Pendidikan sebagaimana dipraktikkan di sekolah-sekolah sebagai bagian dari sistem masyarakat, pada kenyataannya menjadi pelanggeng proses dehumanisasi tersebut. Secara lebih rinci Freire menjelaskan proses dehumanisasi tersebut dengan menganalisis tentang kesadaran atau pandangan hidup masyarakat terhadap diri mereka sendiri.

Lebih lanjut dapat disimpulkan bahwa sebenarnya pandangan filsafat pendidikan Freire bermula dari kritiknya terhadap praktik pendidikan di dunia dewasa ini, yakni yang diebutnya sebagai, banking concept of education. Murid dalam proses pendidikan bank yang dipraltikan di sekolah-sekolah lebih menjadi objek pendidikan, mereka pasif dan hanya mendengar, mengikuti, mentaati, dan mencontohi para guru.

Praktik pendidikan seperti itu bagi Freire tidak saja bersifat menjinakkan, tetapi lebih jauh merupakan proses dehumanisasi dan penindasan. Sebagai antitesis, Freire selanjutnya mengembangkan suatu pendidikan yang tidak saja mentransformasikan hubungan guru dengan murid yang lebih membebaskan, serta meletakkan dasar konsep pendidikan yang memposisikan murid sebagai subjek pendidikan.

Konsep ini tidak saja memperkenalkan metodologi dan praktik hubungan pendidikan yang bersifat membebaskan, namun juga membangkitkan kesadaran kritis warga belajar terhadap ketidakadilan sistemik. Proses dan metodologi pendidikan konsientisasi ini telah mempengaruhi berbagai praktik pendidikan politik rakyat tertindas di Dunia Selatan. Konsientisasi juga berpengaruh terhadap aspek kehidupan lainnya dan salah satunya telah mempengaruhi arena kesenian dan keudayaan, sehingga melahirkan kesenian untuk kaum tertinda.

Memahami Filafat Pendidikan Paulo Freire

Kekuatan Freire yang sesungguhnya terletak pada kekuatan pemikiran yang mampu menukik langsung pada pokok-pokok persoalan dengan bahasa yang sangat sederhana, sehingga para pemerhati filsafat tingkat pemula atau orang kebanyakan sekalipun akan mudah mencerna dan memahaminya.

Freire mampu menjabarkan pemikiran-pemikiran filsafat yang sophisticated ke dalam aktualisasi persoalan-persoalan kehidupan keseharian serta tuntutan-tuntutan praktis abad mutakhir saat ini, terutama dalam bidang pendidikan berkaitan dengan seluruh ikhtiar pembangunan nasional yang menjadi cultural focus dunia saat ini.

Berbeda dengan generasi pemikir sebelumnya, Freire tidak berhenti dan selesai pada besaran-besaran pemikiran dan perdebatan terminologis yang tidak perlu, tetapi langsung menerapkan dan melakukan gagasan sendiri dalm suatu rangkaian program aksi yang cukup luas.

Manusia dan Dunia Menjadi Pusat Masalah

Filsafat Freire bertolak dari kehidupan nyata, bahwa didunia ini sebagian besar manusia menderita sedemikian rupa sementara sebagian lainnya menikmati jerih payah orang lain dengan cara-cara yang tidak adil. Kelompok yang menikmati ini justru bagian minoritas umat manusia Dilihat dari segi jumlah saja menunjukkan bahwa keadaan tersebut memperlihatkan kondisi yang tidak berimbang, tidak adil.

Bagi Freire fitrah manusia sejati adalah menjadi pelaku atau subjek,bukan penderita atau objek. Panggilan manusia sejati adalah menjadi pelaku yang sadar, yang bertindak mengatasi dunia serta realitas yang menindas atau mungkin menundasnya. Dunia dan realitas atau realitas dunia ini bukan “sesuatu yang ada dengan sendirinya”, dan karena itu dan karena itu “harus diterima menurut apa adanya” sebagai suatu takdir atau semacam nasib yang tidak terelakkan, semacam mitos.

Manusia harus menggeluti dunia dan realitas dengan penuh sikap kritis dan daya cipta, dan hal itu berarti dan mengandaikan perlunya sikap orientatif yang merupakan pengembangan bahasa pikiran. Pada hakikatnya manusia mampu memahami keberadaan dirinya dan lingkungan dunianya, dan dengan bekal pikiran dan tindakan “praxisnya” ia mengubah dunia dan realitas.

Manusia adalah penguasa atas dirinya, dan karena itu fitrah manusia adalah menjadi merdeka, menjadi bebas. Ini merupakan tujuan akhir dari upaya humanisasinya dari Freire. Humanisasi karenanya juga berarti pemerdekaan atau pembebasan manusia dari situasi-situasi batas yang menindas di luar kehendaknya.

Kaum tertindas harus memerdekakan dan membebakan diri mereka sendiri dari penindasan yang tidak manusiawi sekaligus membebaskan kaum penindas mereka dari penjara hati nurani yang tidak jujur melakukan penindasan. Jika masih ada perkecualian, maka kemerdekaan dan kebebasan sejati tidak akan pernah tercapai secara penuh dan bermakna.

Pembebasan Menjadi Hakikat Tujuan

Pendidikan haruslah berorientasi kepada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri. Pengenalan itu tidak cukup hanya bersifat objektif atau subjektif, tapi harus dua-duanya. Kebutuhan objektif untuk mengubah keadaan yang tidak manusiawi selalu memerlukan kemampuan subjektif (kesadaran subjektif) untuk mengenali terlebih dahulu keadaan yang tidak manusiawi, yang terjadi kenyataanya, yang objektif.

Objektivitas dan subjektivitas dalam pengertian ini menjadi dua hal yang tidak saling bertentangan, bukan suatu dikotomi dalam pengertian psikologis. Kesadaran subjektivitas dan kemampuan objektif adalah suatu fungsi dialektis yang konstan dalam diri manusia dalam hubungannya dengan kenyataan yang saling bertentangan dan harus dipahaminya.

Oleh karena itu, pendidikan harus melibatkan tiga unsur sekaligus dalam hubungan dialektisnya yang konstan, yakni: (1) Pengajar, (2) Pelajar atau anak didik, dan (3) Realitas dunia. Unsur yang pertama dan kedua adalah subjek yang sadar (cognitive), sementara yang ketiga adalah objek yang disadari (cognizable). Hubungan dialektis semacam inilah yang tidak terdapat pada sistem pendidikan mapan selama ini.

Sistem pendidikan yang pernah ada dan mapan elama ini dapat diandaikan sebagai sebuah “bank” (banking concept of education) dimana pelajar diberikan ilmu pengetahuan agar ia kelak dapat mendatangkan hasil dengan lipat ganda. Jadi anak didik adalah objek investasi dan sumber depoito potensial.

Guru adalah subjek aktif, sedang anak didik adalah objek pasif yang penurut, dan diperlakukan tidak berbeda atau menjadi bagian dari realitas dunia yang diajarkan kepada mereka, sebagai objek ilmu pengetahuan teoritis yang tidak berkesadaran. Pendidikan akhirnya bersifat negatif dimana guru memberi informasi yang harus ditelan oleh murid, yang wajib diingat dan dihapalkan.

Secara sederhana Freire menyusun daftar antagonisme pendidikan “gaya bank” itu sebagai berikut :

a. Guru mengajar, murid belajar

b. Guru tahu segalanya

c. Guru berpikir, murid dipikirkan

d. Guru berbicara, murid mendengarkan

e. Guru mengatur, murid diatur

f. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menuruti

g. Guru bertindak, murid membayangkan bagaiman bertindak sesuai dengan tindakan gurunya

h. Guru mengacaukan wewenanamg ilmu pengetahuan dengan wewenang profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan murid

i. Guru adalah subjek proses belajar, murid objek belajar

Oleh karena guru menjadi pusat segalanya, maka merupakan hal yang lumrah jika murid-murid kemudian mengidentifikasikan diri seperti gurunya sebagai prototipe manusia ideal yang harus ditiru dan digugu, harus diteladani dalam semua hal. Freire menyebut pendidikan semacam itu menciptakan “nekrofili” dan bukannya melahirkan “biofili”. Implikasi lebih jauh adalah jika saatnya murid-murid akan benar-a benar menjadikan diri mereka sebagai duplikasi guru mereka dulu, pada saat itulah akan lahir lagi generasi baru manusia-manusia penindas.

Akhirnya Freire sampai pada formulasi filsafat pendidikannya sendiri, yang dinamakannya sebagai “pendidikan kaum tertindas”. Sebuah sistem pendidikan yang ditempa dan dibangun kembali bersam dengan, dan bukan diperuntukkan bagi, kaum tertindas. Sistem pendidikan pembaharuan ini, kata Freire adalah pendidikan unuk pembebasan, dan bukan untuk penguasaan (dominasi). Pendidikan haru menjadi proses pemerdekaan, bukan penjinakan sosial-budaya. Pendidiakn bertujuan menggarap realita manusia, dan karena itu ecara metodologis bertumpu diatas prinsip-prinsip aksi dan refleksi total.

Dengan kata lain, praxis adalah manunggal karsa, kata dan karya, karena manusia pada dasarnya adalah kesatuan dari fungsi berpikir, berbicara dan berbuat. Dengan kata lain, praxis tidak memisahkan ketiga fungsi atau aspek tersebut, tetapai padu dalam gagasan maupun cara wujud seeorang sebagai manusia seutuhnya.

Pada saat bertindak dan berpikir itulah seseorang menyatakan hasil tindakan dan buah pikirannya melalui kata-kata. Dengan daur belajar eperti ini, maka setiap anak didik secara langsung dilibatkan dalam permaalahan-permasalahan realitas dunia dan keberadaan diri mereka di dalamnya.

Karena itu Freire juga menyebut model pendidikannya sebagai “pendidikan hadapi masalah” (problem posing education). Anak didik menjadi subjek yang belajar, ubjek yang bertindak dan berpikir, dan pada saat bersamaan berbicara menyatakan hasil tindakan buah pikirannya. Begitu juga sang guru.

Guru mengajukan bahan untuk dipertimbangkan oleh murid dan pertimbangan sang guru sendiri diuji kembali etelah dipertemukan dengan pertimbangan murid-murid, dan sebaliknya. Hubungan keduanyapun menjadi subjek-subjek, bukan subjek-objek. Objek mereka adalah realita. Maka terciptalah suasana dialogis yang bersifat intersubjek untuk memahami suatu ojek bersama.

Penyadaran Merupakan Inti Proses

Keempatan untuk aktif bertindak dan berpikir sebagai pelaku dengan terlibat langsung dalam permasalahan yang nyata dan dalam suasana yang dialogis, akan membuat pendidikan kaum tertindasnya Freire dengan segera menumbuhkan kesadaran yang menjauhkan seseorang dari “rasa takut akan kemerdekaan” (fear of freedom).

Langkah awal yang paling menentukan dalam upaya pendidikan pembebasannya Freire adalah suatu proses yang terus menerus, suatu “commencement” yang selalu “mulai dan mulai lagi”. Maka proses penyadaran akan selalu ada dan merupakan proses yang sebati (inherent) dalam keseluruhan proses pendidikan itu sendiri. Maka, proses penyadaran merupakan proses inti atau hakikat dari proses pendidikan itu sendiri.

Pendidikan harus memberikan keleluasaan bagi setiap orang untuk mengatakan kata-katanya sendiri, bukan kata-kata orang lain. Murid harus diberi kesempatan untuk mengatakan dengan kata-katanya sendiri, bukan kata-kata sang guru. Atas dasar itulah, Freire menyatakan bahwa proses pengaksaraan dan keterbacaan (alfabetiasi dan literasi) yang berada ditahap paling awal dari semua proses pendidikan, haruslah benar-benar merupakan suatu proses yang fungsional.

Proses tersebut bukan sekedarsuatu kegiatan teknis mengajarkan huruf-huruf dan angka-angka serta merangkainya menjadi kata-kata dalam kalimat-kalimat yang telah tersusun secara mekanis. Dalam pelaksanaannya, konsep pendidikan melek huruf fungsional Freire ini terdiri dari tiga tahap utama :

1. Tahap Kodifikasi dan Dekodifikasi : merupakan tahap pendidikan melek huruf elementer dalam “konteks konkrit” dan “konteks teoritis” (melalui gambar-gambar, cerita rakyat dan sebagainya)

2. Tahap Diskusi Kultural : merupakan tahap lanjutan dalam satuan kelompok-kelompok kerja kecil yang ifatnya problematis dengan menggunakan “kata-kata kunci” (generative words)

3. Tahap Aksi Kultural : merupakan tahap “praxis” yang sesungguhnya di mana setiap orang atau kelompok menjadi bagian langsung dari realitas

Bagian 2. Belajar Dari Realitas

Metodologi Pendidikan

Metodologi pendidikan merupakan gaungan (campuran) dari segala unsur, teknik, cara penyajian, bentuk, proses serta alat penunjang yang diolah sebagai cermin dari filsafat dan paradigma yang dianut.

Fasilitator menggabungkan berbagai unsur pokokdari penyelenggaraan pendidikan agar proses belajar partisipatif menjadi efektif bagi seluruh partisipan melalui proses interaksi antar peserta, juga antar peserta dengan fasilitator.

Dalam metodologi pendidikan partisipatif, kita akan segera berhadapan dengan banyak istilah : simulasi, studi kasus, ceramah, tanya jawab, curah pendapat, diskusi kelompoka, diskusi pleno, penugasan, demonstrasi, peragaan, studi lapangan, permainan peran dan sebagainya.

Ditambah lagi istilah –istilah asing seperti critical incident, socio drama, structured experience, busines games, ice breakers, seterusnya. Perlu pemetaan dalm bentuk kerangka analisa atau pola pikir untuk membantu orang yang akan memulai agar tidak tersesat, nyasar kejalan yang sesat. Hal yang harus dipetakan adalah memetakan unsur-unsur pokok pada metodologi pendidikannya, yakni :

a. Proses pendidikan seperti apa yang akan dilakukan

b. Bentuk pendidikan semacam apa yang akan dipilih

c. Sarana apa saja yang harus diadakan dalm rangka menunjang proses pendidikan

d. Rumusan tujuannya (isi), tujuan yang ingin dicapai melalui proses pendidikan tersebut, menyangkut aspek pemahaman, keterampilan dan sikap eperti apa yang akan dibangun melalui proses pendidikan tersebut

e. Peran seperti apa yang akan dimainkan oleh fasilitator dalam proses pendidikan tersebut.

Pengalaman Memandu

Sebenarnya belajar tidak harus menggunakan model formal seperti itu. Akan lebih baik jika proses belajar itu didorong dengan menggunalkan metode pengembangan kemampuan dan pengetahuan yang diproses dari pengalaman. Pada kenyataannya metode seperti itu justru yang menimbulkan nuansa lain dalam belajar sekaligus merupakan tantangan bagi pelatih, pemandu atau fasilitator yang mendorong semangat belajar partisipannya. Fasilitator harus mampu merancang model belajar yang sama sekali berbeda dengan kebiasaan yang selalu dianggap lazim, jika ingin berperan sebagai faktor pendorong terjadinya perubahan.

Prinsip utama pendidikan popular adalah menjadikan peserta sebagai partisipan. Intinya peserta harus berperan sebagai subjek yang kritis terhadap masalah mereka sendiri. Mereka adalah orang dewasa yang memiliki pengetahuan dan pengalaman. Untuk mencapai puncak kesadarannya, partisipan harus merespon dan memproses pengalaman mereka sendiri, jika media dan metode pendidikan yang digunakan tepat, maka pada saat proses fasilitsi berakhir mereka akan mengambil pelajaran dan pengalaman mereka sendiri.

MENJADI PELAJAR DARI PENGALAMAN SENDRI

Oleh karena itu pemandu dan fasilitas pendidikan dianjurkan untuk mengetahui kemampuan belajar setiap peserta dan selalu membesarkan hati dan mendorongnya untuk terus belajar.

David Kolb (1984) berpendapat ada 4 bentuk kebutuhan yang harus dimiliki oleh seseorang peserta/partisipan jika belajar secara efektif, yaitu mereka harus dapat :

Ø Terlibat penuh, terbuka dan tidak berperasangka dengan pengalaman barunya; Dia menyebut kebutuhan ini dengan istilah tahap MELAKUKAN PENGALAMAN NYATA.

Ø Mereflesikan dan menyimak pengalaman dengan menggunakan banyak perspektif : MENCERMATI DAN MEREFLEKSIKANNYA.

Ø Membentuk konsep yang menyatukan pencermatannya ke dalam teori yang logis : KONSEPTULISASI ABSTRAK

Ø Menggunakan teori tersebut untuk membuat keputusan dan menyelesaikan masalah : BEREKSPERIMEN SECARA AKTIF.

Sebenarnya bagaimanapun model belajar yang diterapkan dalam pendidikan, akan selalu baik untuk digunakan selama ada keterlibatan aktif dari fasilitor maupun partisipasinya untuk memperoses perbedaan yang muncul dari diri masing-masing partisipan.

Metode pendidikan orang dewasa mengenal satu model daur belajar yang menggunakan prinsip pendekatan partisipatif, yakni menggunakan pengalaman dan pengetahuan partisipan itu sendiri untuk diproses dalam mendorong transformasi pengalaman baru. Transformasi ini akan membawa hasil perubahan pengetahuan dan sikap partisipan.

Masalah lain dalam menyelenggarakan pendidikan adalah usia dari pesertanya. Peserta yang berusia dewasa memiliki masalah sendiri dalam belajar. Selayaknya orang tumbuh, semakin tua seseorang, akan semakin sedikit kapasitas memorinya. Orang akan mudah terganggu dan kurang efektif lagi daya ingat dan daya tangkapnya.

Semua itu membutuhkan kesinambungan dan praktik secara terus-menerus. “Tanpa penguatan atau pengulangan, sebagian besar orang lupa tentang bagian terpenting dari apa yang mereka pelajari”. Model pendidikan yang baik mewajibkan peserta untuk secara aktif terus-menerus meningkatkan keterampilan dan pengetahuan sejak dini. Jika tidak maka kemampuan akan mudah hilang.

Kesulitan yang lain, peserta atau partisipan tidak memahami diri mereka sendiri. Bahkan mereka sering tidak menyadari apakah kemampuan belajar itu muncul dari mereka sendiri atau tidak. Akan banyak muncul pertentangan atau penolakan pada saat mereka dikenalkan dengan metode baru. Namun sebenarnya bagi seorang pelatih atau fasilitator, keadaan seperti itu justru itu menyenangkan, atau setidaknya membuka tantangan.

Untuk memudahkan proses pemahaman mengenai substansi pendidikan, maka sangat bermanfaat jika anda siapkan terlebih dahulu keadaan ruangan, dan mungkin daya anda dalam mengekspresikan sesuatu kepada peserta yang ada pada saat itu.

Sebagaimana prinsip-prinsip metode pendidikan partisipatif, maka peserta harus dinilai sebagai orang dewasa yang tidak harus diajari sebagaimana murid yang selalu menunggu perintah dari guru. Oleh karenanya sangat penting bagi fasilitator untuk menciptakan suasana kedewasaan pada diri partisipan dalam proses pendidikan, berbagai upaya yang bisa dilakukan.

KERUGIAN DARI MENDENGARKAN

Ø Pengetahuan yang disampaikan hanya didasarkan pada ada yang dimilikioleh penceramahnya, komunikasi hanya berjalan satu arah tanpa peran partisipan, dan tidak ada umpan balik dari pendengarnya.

Ø Muncul anggapan bahwa ada kesenjangan pengetahuan antara penceramah dengan pendengarnya. Peserta dianggap sebagai orang tidak berpengetahuan sama sekali, oleh karena itu harus diisi.

Ø Peserta yang hanya menerima informasi secara pasif akan cepat bosan dan capek.

Ø Metode “kuliahan” menekankan pada transfer informasi dan fakta, maka akan lebih banyak mengandalkan pesan-pesan dalam informasi itu dari pada faktanya.

Ø Rentang waktu bagi peserta untuk berkonsentrasi penuh sangat terbatas, apalagi jika ceramah diberikan dengan cara yang monoton. Rata-rata orang akan melupakan 50% dari apa yang mereka dengar.

Ø Sering terjadi kalau model ceramah menjadi model yang kaku, bagian yang penting hanya disiapkan sedikit, disampaikan sekali, selebihnya adalah pengulangan.

Ø Penceramah yang tidak memiliki cara untuk memastikan seberapa jauh peserta menangkap dan memahami materi yang disampaikan penceramah, apabila tidak ada review atau pengulangan materi, baik selama maupun setelah acara.

MOTIVASI BELAJAR.

Seperti halnya proses belajar umumnya. Jika seseorang tidak memiliki motivasi yang kuat dalam belajar, maka mustahil mereka akan mampu mempelajari sesuatu dengan baik. Tugas fasilitator adalah membangkitkan motivasi itu dengan menciptakan cara-cara yang kreatif untuk memotivasi partisipan, misalnya dengan meminta meraka menuliskan apa yang telah mereka lakukan dan apa keahlian masing-masing.

Persoalan motivasi jugalah yang membedakan modal belajar guru-murid dengan pendidikan partisipatif. Model pertama percaya bahwa materi yang disampaikan dengan cara yang tepat dan baik, serta dengan menggunakan pola rembesan dari guru ke murid, akan membawa hasil yang baik.

Tetapi jika murid tidak memiliki motivasi belajar, justru murid akan gagal memahami apa yang disampaikan gurunya. Beberapa keadaan yang membuat peserta kurang memiliki motivasi antara lain:

Ø Partisipan diminta untuk memperhatikan proses pendidikan, sementara materi belajar bertentangan dengan apa yang mereka harapkan.

Ø Partisipan tidak tahu apa pentingnya dan manfaat dari proses belajar tersebut.

Ø Partisipan khawatir keterampilan yang dipelajari terlalu tinggi jika dibandingkan pekerjaan sehari-hari mereka, sehingga bisa jadi pikiran mereka tidak terkonsentrasi pada pelatihan tetapi justru melayang ke tempat lain.

Ø Partisipan akan teringat akan pekerjaan mereka yang menumpuk di tempat mereka bekerja, sehingga selama proses belajar pikirannya justru ke pekerjaan terus.

Ø Cara anda menyampaikan materi tidak cukup melibatkan pengetahuan, kemampuan dan wawasan mereka.

Ø Partisipan telah “belajar” segala sesuatu sebelum pelatihan, mereka merasa telah mengetahuinya.

Ø Partisipan salah paham tentang fasilitator atau organisasi penyelenggara.

BAGAIMANA MENJADI PEMANDU YANG BAIK.

Mengutip pendapat dari Jenny Rogers, fasilitator akan dengan lincah, peka dan cermat memandu sebuah proses pendidikan jika ia memiliki watak atau karakter seperti :

Ø Kepribadian yang menyenangkan, dengan kemampuan untuk menunjukkan persetujuan dan pemahaman tentang kemampuan partisipan.

Ø Kemampuan social, dengan kecakapan untuk menciptakan dinamika kelompok secara bersama-sama dan mengontrolnya tanpa merugikan partisipan.

Ø Mampu merancang cara memfasilitasi yang dapat membangkitkan, menggunakan pengetahuan dan keterampilan partisipan sendiri selama proses berlangsung.

Ø Mampu mengorganisir kegiatan mulai dari mencari sumber dana hingga persiapan logistic yang diperlukan.

Ø Cermat dalam melihat persoalan pribadi partisipan dan berusaha mencarikan jalan keluar.

Ø Memiliki ketertarikan yang besar terhadap subjek atau materi pendidikan dan meletakkan ketertarikan itu pada cara penyampaian yang tepat dan menyenangkan.

Ø Fleksibel dalam merespon perubahan kebutuhan belajar partisipan.

Ø Pemahaman yang cukup atas materi pokok pendidikan.

KEPENTINGAN UMPAN BALIK (Free Back)

Jika anda tidak memberikan kesempatan kepada partisipan untuk mengetahui apakah yang mereka kerjakan sudah baik atau belum, maka mereka tidak akan pernah dapat meningkatkan hal-hal yang sudah baik pada diri mereka. Maka pada kesempatan tertentu perlu Anda tunjukkan hal-hal positif yang nampak dari partisipan.

Tapi untuk hal-hal yang belum baik, jangan disampaikan dengan cara kritik yang destruktif. Sangat mudah mematahkan semangat belajar partisipan hanya dengan kritik destruktif dan tidak mengakui usaha mereka. Memang umumnya banyak orang dewasa yang tidak mau belajar dari kesalahannya.

Gelaja umum yang sering terjadi adalah mereka menyembunyikan kesalahan itu dengan alas an tertentu, menghindar untuk melihat kesalahan sendiri, dan akhirnya justru sikap seperti inilah yang akan menghambat proses belajarnya.

Sebagai fasilitator, perlu memandu partisipan seperti itu untuk melakukan self-reflection atau berkaca pada diri sendiri. Anda perlu dengan segera memandunya dan memberi umpan balik untuk memperbaiki hal itu. Misalnya dengan teknik seperi berikut :

Ø Melakukan review sedini mungkin saat terjadi kesalahan atau kesusksesan. Ini dilakukan agar tidak menunggu sampai ada kesalahan dan menjadikan kesuksesan tadi sebagai contoh dari keberhasilan mereka sendiri.

Ø Batasilah komentar partisipan untuk dua atau tiga aspek dari kebaikan atau keburukan pekerjaan.

Ø Anda jangan terburu-buru untuk perbaiki sendiri kesalahan yang muncul dari diri partisipan.

Ø Jika anda akan memberi komentar negatif atau kritik, maka gunakan teknik memuji hal yang baik dari mereka terlebi dahulu.

Ø Setiap kali akan melakukan evaluasi, kritiklah hasil kerja atau hasil belajar yang mereka tunjukkan, jangan mengkritik pribadinya.

Ø Gunakan media tulis jika anda merasa ada banyak kesalahan yang muncul dari partisipan selama proses.

PROSES PENDIDIKAN KRITIS

Ciri-ciri Pokok

þ Belajar dari realitas atau pengalaman. Materi yang dipelajari bukan “ajaran” (teori, pendapat, kesimpulan, wejangan, nasehat, dsb) dari seseorang, tetapi keadaan nyata masyarakat atau pengalaman seseorang atau sekelompok orang yang terlibat dalam keadaan nyata tersebut.

þ Tidak Menggurui. Oleh karen itu, tak ada “ guru “ dan tak ada “ murid yang digurui “. Semua orang yang terlibat dalam proses pendidikan ini adalah “ guru sekaligus murid “ pada saat yang bersamaan.

þ Dialogis. Tidak ada lagi guru atau murid, maka proses yang berlangsung bukan lagi proses “ mengajar-belajar “ yang bersifat satu arah, tetapi proses “ komunikasi” dalam berbagaibentuk kegiatan (diskusi kelompok, bermain peran, dsb) dan media (peraga, grafika, audo-visual, dsb).

Proses belajar ini sudah teruji sebagai suatu proses belajar yang memenuhi semua tuntutan atau prasyarat pendiidkan kritis. Hal tersebut terjadi karena urutan prosesnya memang memungkinkan bagi setiap orang untuk mencapai pemahaman dan kesadaran atas suatu realitas sosial dengan cara terlibat (partisipasi), secara langsung maupun tidak langsung, sebagai bagian dari realitas tersebut. Pengalaman keterlibatan inilah yang memungkinkan setiap orang mampu melakukan.

8 Melakukan ; dimulai dengan pengalaman-pengalaman, peristiwa-peristiwa, yang dimunculkan lewat cerita, studi kasus, permainan, dan media lainnya sebagai cara untuk melihat data yang ada.

8 Mengungkap data (Rekonstruksi) ; yakni menguraikan kembali rincian (fakta, unsur-unsur, urutan kejadian, dll) dari realitas sebagai proses pengungkapan dengan cara menyatakan kembali apa yang sudah dialaminya lewat tanggapan dan kesan atas pengalaman tersebut.

8 Kaji-urai (Analisis) ; yakni mengkaji sebab-sebab dan kemajemukan kaitan-kaitan permasalahan yang ada dalam realitas tersebut, baik itu menyangkut tatanan, atuan-aturan, maupun sistem yang menjadi akar persoalan.

8 Kesimpulan ; yakni merumuskan makna atau hakikat dari realitas tersebut sebagai suatu pelajaran dan pemahaman atau pengertian baru yang lebih utuh.

8 Tindakan (penerapan); tahap akhir dari daur belajar ini adalah memutuskan dan melaksanakan tindakan-tindakan baru yang lebih baik berdasarkan hasil pemahaman atau pengertian baru atas realitas tersebut. Sehingga sangat memungkinkan untuk menciptakan realitas-realitas baru yang juga lebih baik.

KRITIK TERHADAP METODOLOGI PENDIDIKAN KONSEP MENABUNG

Metodologi konservatif adalah metode pendidikan yang ditujukan untuk “belajar pada guru”. Pendidikan model “guru digugu dan ditiru” ini membuat guru menjadi pusat kegaiatan belajar mengajar, dan merupakan jebakan dalam model pendidikan ini yang sering disebut sebagai model ahli.

Siklus metodologi belajar mengajar ini memusatkan proses pada guru atau trainer. Banyak fasilitator, yang meskipun menggunakan istilah atau mengklaim sebagai fasilitator dengan metode yang partisipatif, tetapi ternyata praktiknya sama seperti guru dan murid (hanya tinggal istilah belaka).

Bagian 3. Bahasa Fasilitator

Mengolah Media Pendidikan

Dalam perspektif dan metodologi pendidikan kritis, media juga adalah “bahasa”nya para fasilitator. Tetapi karena penggunaan media itu sendiri merupakan suatu keharusan jika ingin taat-asas pada filosofi pendidikan kritis yang menekankan mutlaknya parapartisipan belajar dan memproduksi pengetahuan dari pengalaman mereka sendiri. Hanya menyediakan sarana dan prosesnya saja.

Sarana dan proses itulah media, bahasa-nya para fasilitator. Ini yang membedakan seorang fasilitator dengan seorang manajer atau guru atau dosen. Kalaupun manajer, guru, dan dosen tersebut menggunakan media yang sama, biasanya hanya sebagai peraga atau “Penggambaran” (illustration), sebagai pemanis dan pemikat omongan atau ceramah dan kuliahnya agar lebih menarik dan tidak membosankan.

Bagi seorang fasilitator, media bukan hanya berfungsi sebagai ilustrasi, tetapi sekaligus sebagai “sandi” (code) untuk mengajak partisipan berfikir tentang sesuatu, mendiskusikannya bersama, berdialog untuk menemukan suatu kesimpulan dan jawaban mereka sendiri. Dengan cara demikian, fasilitator menjadikan sandi tersebut sebagai suatu “gambaran yang hidup” (animation) tentang suatu kejadian, gejala, atau permasalahan nyata tertentu.

Itu pula sebabnya mengapa fasilitator sering juga disebut sebagai “animator”. Pada saat partisipan mulai berfikir, berdiskusi dan berdialog itulah berlangsung pula sesuatu proses pemberian arti, pengertian, pemaknaan (kodifikasi) atas gambaran hidup keadaan, gejala, atau permasalahan yang ditampilkan melalui media tadi. Lalu, pada saat mereka mencapai suatu kesimpulan bersama, mereka telah melahirkan suatu pemahaman dan kesadaran baru, suatu pengetahuan yang melihat kejadian, gejala, atau permasalahan tadi secara kritis (dekodifikasi).

Dengan kata lain, media sebagai bahasa dan sandi di tangan seorang fasilitator pendidikan kritis, adalah pemicu awal dari keseluruhan proses perubahan sosial yang sesungguhnya. Banyak orang, termasuk kalangan pemikir, para pakar teori, bahkan juga aktivis gerakan perubahan sosial selama ini sering melecehkan mereka dengan sebutan-sebutan sinis “ tidak ilmiah” : main-main, seperti anak-anak, dan sebagainya. Hanya ada dua kemungkinan bagi para pengamat sinis tersebut :

þ Pertama, mereka memang tidak memiliki keterampilan teknis untuk merancang dan menggunakan media sehingga, sebagai kompensasi, hanyalah dengan cara melecehkannya.

þ Kedua, ini yang lebih parah, mereka memang sebenarnya tidak faham apa yang mereka gembar-gemborkan dengan berbagai “jargon ilmiah” atau “omongan besar” (big words) teori-teori perubahan sosial kritis yang mereka pidatokan, ceramahkan, atau kuliahkan di mana-mana.

Maka menjadi seorang fasilitator pendidikan kritis, selain harus menguasai landasan filosofis dan teoritisnya, juga harus memiliki keterampilan teknis merancang dan menggunakan media sebagai bahasa dan sandi mereka. Agar terampil, mereka jelas harus mengetahui dulu berbagai jenis media dan karakteristiknya masing-masing sebagai berikut :

Simulasi : Permainan

Bermain peran

Forum teater

Audio : Rekaman suara/musik

Siaran radio

Visual : Foto-foto

Bahasa foto

Foto tematis

Cerita foto

Gambar grafis : Poster-poster

Kartu-kartu bergambar

Komik, kartun

Bahan cetakan : Cerita kasus

Lembar fakta

Guntingan berita

Lembar kerja

Bahan bacaan

Audio visual : Slide suara

Video documenter

Film cerita

Multi-media : Pertunjukan dan upacara

Teknik-teknik riset partisipatoris

Jaringan internet dan e-mail

SIMULASI

Permainan

Permainan (game) biasanya digunakan untuk memperagakan atau menirukan suatu keadaan yang sebenarnya tidak dapat dihadirkan langsung di dalam ruang atau tempat latihan. Jenis media ini sangat efektif terutama untuk menjelaskan suatu pengertian niskala (abstrak) atau konsep yang sering sulit dijelaskan dengan kata-kata.

Maka jelas, merancang suatu permainan sebagai media pelatihan memerlukan keterampilan tersendiri sekaligus pemahaman yang baik tentang apa yang ingin dijelaskan. Ini memerlukan semacam “kajian” terlebih dahulu : membaca bahan-bahan teoritis yang ada, kasus-kasus nyata, mencari contoh-contoh yang penad (relawan), menyusun aturan permainan, dan seterusnya.

Jelas juga ini memerlukan lebih banyak waktu dan tenaga untuk mempersiapkannya. Jika dikatakan bahwa media ini memiliki kelemahan, maka inilah salah satu kelemahannya : menyita banyak waktu persiapan. Selain itu, media ini akan menjadi tidak efektif kalau kemampuan dan keterampilan teknis metodologis fasilitatornya juga tidak memadai.

Salah satu cara mengatasi kelemahan ini adalah menggunakan rancangan permainan yang sudah pernah ada dan sudah terbukti efektif digunakan selama ini, tentu saja, dengan mengubah-sesuaikannya secara kreatif jika perlu.

Ada juga jenis permainan dalam proses belajar yang memang digunakan semata-mata sebagai “permainan murni”, yakni apa yang disebut sebagai “pemecah kebekuan” (ice breaker) atau “pembangkit semangat” (energizer), bukan untuk membahas suatu topik tertentu, tetapi hanya untuk menghidupkan suasana, misalnya, ketika para partisipan mulai tampak lelah, mengantuk, atau bosan.

Meskipun demikian, jenis permainan ini juga sebenarnya bisa digunakan sebagai media untuk membahas suatu topik sederhana, karena waktunya memang terbatas, biasanya hanya 5-10 menit saja.

Bermain Peran

Media bermain peran (role playing) pada dasarnya adalah salah satu bentuk permainan juga dan memang banyak miripnya. Hanya saja, dalam bentuk media ini ada satu alur cerita (skenario) khusus dengan para pameran yang tertentu pula.

Peran-peran itulah yang dimainkan oleh beberapa orang partisipan, sementara yang lainnya mengamati. Kekuatan media ini terutama sangat efektif untuk menjelaskan suatu proses kejadian tertentu atau menirukannya sepersis mungkin agar para partisipan nanti tidak canggung lagi melakukannya dalam keadaan yang sesungguhnya.

Menurut pengalaman, media ini sangat bagus untuk melatih partisipan yang ingin melakukan suatu aksi tertentu, tetapi masih sedikit atau belum memiliki pengalaman sama sekali sebelumnya.

Kelemahan media ini adalah jika tidak tersedia informasi yang cukup atau narasumber yang berpengalaman mengenai situasi atau keadaan dan karakter para pelaku atau pihak-pihak yang akan diperankan. Karena itu, fasilitator perlu menyiapkan terlebih dahulu, atau mungkin juga ada di antara para partisipan sendiri yang memiliki informasi atau pengalaman untuk dijadikan narasumber.

Forum Teater

Jenis media ini pun mirip dengan bermain peran. Perbedaannya adalah bahwa dalam bermain peran, proses kejadian harus diperankan dahulu dari awal sampai akhir, baru kemudian didiskusikan. Dalam forum teater, proses kejadian diidentifikasi dan diolah bersama menjadi kerangka cerita lalu dimainkan.

Bedanya dengan teater panggung, dalam forum teater ini boleh dipenggal di tengah jalan, didiskusikan, diulang lagi atau dilanjutkan dengan adegan berikutnya. Demikian seterusnya sampai partisipan merasa cukup, tidak perlu sampai seluruh skenario selesai.

Jadi, Perbedaan yang lainnya adalah dalam forum teater dari identifikasi masalah dapat dituangkan ceritanya dengan cara rekaan (imajiner), tentang suatu keadaan tertentu, sementara dalam bermain peran ceritanya adalah peniruan dari suatu keadaan nyata yang sesungguhnya.

AUDIO

Rekaman Suara/Musik

Ini adalah salah satu media klasik yang, sayangnya, sudah mulai jarang digunakan. Biasanya berbentuk rekaman pernyataan seseorang (hasil wawancara, potongan pidato, dsb) atau rekaman sandiwara radio yang digunakan sebagai pengantar diskusi tentang suatu masalah atau isu tertentu.

Hasil riset menunjukkan bahwa kemampuan manusia untuk menyimak dan memahami sesuatu melalui telinga adalah di bawah 15%, apalagi jika mereka tidak berhadapan langsung dengan sumber suara atau orangnya. Diperlukan kemampuan imajinasi yang cukup untuk membayangkan apa yang disampaikan melalui rekaman suatu tanpat orangnya. Karena itu, merancang dan memproduksi media ini memerlukan keterampilan teknis tersendiri, mulai dari menulis naskah (audio scriptnya) sampai penanganan peralatan teknis dan perbanyakannya.

Siaran Radio

Sama seperti rekaman suara/musik, media ini juga semakin jarang digunakan, kecuali di daerah-daerah pedesaan terpencil yang belum terjangkau oleh media audio-visual dan multi media yang canggih. Jika digarap dengan baik, media ini sebenarnya cukup ampuh terutama untuk menyebarkan informasi secara luas dan cepat.

VISUAL

Foto-foto

Ini juga merupakan media klasik, tetapi bernasib lebih baik ketimbang media audio, karena ternyata masih banyak digunakan sampai sekarang. Mungkin karena media visual memang memiliki efektifitas lebih baik yang, menurut hasil riset, rata-rata diatas 30-40%.

Gambar, terutama foto (apalagi jika berwarna dan artistik), memang mampu menggambarkan suatu keadaan, peristiwa, tempat, orang, dan suasana lebih hidup ketimbang kata-kata. Kata orang : “Satu gambar bicara lebih banyak daripada seribu kata.”

Sebagai media, foto-foto bisa disajikan dalam bentuk foto-foto tematis, baik foto tunggal maupun berangkai (serial), tentang suatu tema, isu atau permasalahan tertentu. Setelah partisipan melihat dan menyimak foto-foto tersebut, fasilitator kemudian mengajak mereka mendiskusikannya.

Dalam dunia pelatihan, bentuk ini dikenal sebagai bahasa foto (photo language). Cara menyajikannya adalah dengan mencetak foto-foto tersebut dalam ukuran sedang (4-6R) atau besar (10R), kemudian dipajang di dinding dengan pengaturan seartistik mungkin, lalu partisipan ramai-ramai berkeliling menontonnya, membuat catatan-catatan, dan akhirnya mendiskusikannya berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh fasilitator.

Ternyata, media ini efektif untuk mengajak partisipan mengidentifikasi sebab-sebab suatu permasalahan masyarakat dan melakukan analisa sosial terhadap permasalahan tersebut. Penampilan gambar-gambar kontras semacam itu memang merupakan kekuatan utama media ini.

Apalagi jika ketrampilan teknis fotografi dan kepekaan artisti dikuasai dengan baik, media ini menjadi semakin menrik. Kelemahannya mungkin adalah perlu dana dan peralatan yang memadai. Pusat kateketik (PUSKAT) di Yogyakarta pernah memproduksi beberapa seri media bahasa foto yang cukup bagus dan menarik.

Media foto lainnya adalah foto cerita (photonovella), yang secara teknis artistik sama dengan media bahasa foto.

Perbedaannya adalah : bahasa foto terdiri dari foto-foto tunggal atau berangkai untuk berbagai tema dan isu, cerita tertentu dan satu tema saja, disusun secara berurut membentuk suatu alur cerita. jadi, mirip komik, tapi menggunakan foto dan teks seperlunya.

Karena itu, dibutuhkan penanganan teknis yang khas pula, mulai dari menyusun alur gambar (story board), komposisi dan urutan foto, penempatan teks, dan seterusnya. Satu hal yang wajib diperhatikan pada penyusunan ceritanya adalah : akhir cerita harus mengajukan suatu “pertanyaan terbuka” (open-ended question) untuk didiskusikan oleh partisipan.

Jadi, jangan membuat cerita foto yang memberi jawaban permasalahannya atau malah berisi anjuran-anjuran dan nasehat-nasehat, apalagi fatwa !

Kegunaan media ini justru adalah memperhadapkan masalah (problem posing) kepada partisipan, meskipun ceritanya bisa saja suatu kisah nyata (real story), tetapi juga bisa kasus rekaan (imaginary case) berdasarkan fakta nyata, Hal teknis lainnya adalah jangan membuat teks terlalu banyak dan panjang sampai membuat foto-fotonya nyaris tak terlihat lagi, penuh dengan tulisan. Buat teks seperlunya saja, sehingga kaidah “gambar bicara sendiri” terpenuhi.

Seperti bahasa foto, media ini ternyata sangat bagus mengajak partisipan melakukan analisa sosial terhadap permasalahan nyata si masyarakat. Media ini pertama kali diciptakan dan digunakan oleh para organiser rakyat di Amerika Latin dan, karena itu, nama aslinya (fotonovella) adalah bahasa Spanyol.

GAMBAR GRAFIS

Ini juga media klasik, bahkan mungkin yang paling tua usianya dalam dunia pelatihan, dan tetap masih merupakan media yang paling banyak digunakan sampai sekarang. Karena, selain efektivitasnya, juga karena secara teknis memang tidak terlalu sulit memproduksinya ketimbang foto yang memerlukan biaya dan peralatan lebih banyak. Bahkan media ini dapat diproduksi dengan bahan-bahan setempat yang ada saja.

Salah satu bentuk media ini yang paling populer adalah poster, satu “permainan” artistik grafis di atas bidang kertas berukuran sedang atau besar tentang satu tema tertentu. Gambarnya sendiri bisa saja foto atau manipulasi foto, lukisan atau coretan tangan. Bisa gambar tunggal, tapi juga tempelan berbagai gambar (mozaic) atau rangkaian gambar cerita (mural).

Teks diletakkan sebagai pelengkap atau keterangan, seperlunya saja, singkat padat, kalau perlu bahkan tanpa teks sama sekali!. Prinsipnya, poster harus “menarik” (eye catching), unik alias “berbeda” (distinctive), dan cukup terlihat atau terbaca jelas dari jarak tertentu (eligible).

Cara menyajikannya adalah dengan menempelkannya di dinding, kemudian minta partisipan menontonnya, membuat catatan-catatan, kemudian mendiskusikannya berdasarkan panduan pertanyaan-pertanyaan dari fasilitator. Hampir sama dengan media gambar grafis lainnya, yakni karu-kartu bergambar (drawing cards) yang, pada dasarnya, adalah poster-poster daam ukuran kecil (sebesar kartu pos atau kartu remi).

BAHAN CETAKAN

Bentuk media visual lainnya adalah bahan-bahan tercetak (printed matters). Gambar-gambar grafis juga bahan tercetak, tetapi yang kita maksud di sini adalah bahan-bahan cetakan yang umumnya terdiri dari tulisan, naskah, atau risalah. Tentu, suatu naskah atau risalah boleh-boleh saja dihiasi dengan gambar-gambar foto atau grafika tertentu, tetapi gambar-gambar itu hanya sebagai peraga pelengkap, isi utamanya adalah tulisan.

Salah satu bentuk media ini adalah cerita kasus. Sebenarnya sama dengan bermain peran, forum teater, cerita foto, dan komik, tetapi dalam bentuk tulisan naskah atau risalah. Menyajikan suatu kasus (kejadian, peristiwa, keadaan, atau cerita) dengan satu tema tertentu yang akan dibahas dan didiskusikan oleh partisipan.

Umumnya dituliskan dalam bentuk uraian kisah (story telling) dengan gaya bertutur (narrative) yang menyebutkan dengan jelas apa kejadian atau keadaannya, kapan dan dimana terjadi, siapa saja yang terlibat di dalamnya, bagaimana proses dan urutan kejadiannya, apa hasil atau dampak yang diakibatkannya, dan seterusnya.

Cerita kasus yang baik adalah tidak terlalu panjang, paling banyak sekitar 5-7 halaman saja, sehingga partisipan punya waktu tidak terlalu lama, paling sekitar 10-15 menit saja untuk membaca dan menyimaknya.

Gunakan bahasa sederhana dan jelas, jika perlu bahasa percakapan sehari-hari atau slang sekalipun, tidak perlu berbunga-bunga dan bertele-tele, tetapi tanpa menghilangkan unsur dramatiknya (konflik) antar pelaku, kejadian-kejadian yang saling bertentang, hal-hal yang mengejutkan atau mengherankan, dan sebagainya).

Karena itu, lembar fakta biasanya dan memang sebaiknya dihiasi dengan grafis-grafis menarik, tabel-tabel, bahkan juga foto-foto kejadian, orang atau bentang alam daerah yang menjadi fokus masalah. Usahakan jangan terlalu panjang, sekirat 3 – 4 halaman saja. Ini akan memberi kesempatan kepada partisipan untuk memusatkan perhatiannya pada bagian tersebut.

Sama halnya jika menggunakan bentuk lain dari media ini, yakni guntingan berita (news clipping) dari koran atau majalah, bagian yang penting dilingkari dengan spidol merah, misalnya, atau diarsir dengan stabilo pen. Tidak perlu dijelaskan panjang lebar, langsung bagikan kepada para partisipan, minta mereka membacanya beberapa saat, kemudian ajukan pertanyaan-pertanyaan kunci untuk mereka diskusikan.

Bentuk lain adalah lembar-lembar kerja (works sheets) sebagai alat-bantu bagi para partisipan dalam melakukan suatu kegiatan, misalnya, lembar pengamatan yang harus mereka isi pada saat mengamati suatu proses permainan, bermain peran dan sebagainya. Lembar kerja juga bisa berupa lembar isian (filling form) sebagai bagian dari suatu acara permainan atau diskusi kelompok.

Juga, angket (questionnaire) bukan untuk menguji mereka, tetapi sebagai alat untuk memulai membahas suatu topik atau tema tertentu. Terakhir, adalah bahan bacaan (reading materials, supplement, hand out) untuk dibagikan kepada partisipan sebagai bahan bacaan di luar kelas atau acara.

Sebaiknya bagikan di akhir acara dengan penjelasan singkat bahwa bahan tersebut untuk mereka baca di kamar atau rumah masing-masing, sebagai tambahan informasi saja, atau untuk memperdalam pemahaman terhadap topik yang didiskusikan pada acara yang baru saja mereka ikuti.

AUDIO-VISUAL

Slide Suara

Slide (foto-foto positif) diberi narasi suara atau musik, sehingga ketika disajikan, fasilitator tidak perlu bicara atau memberi komentar dan penjelasan apapun. Mirip film atau video, hanya saja gambar-gambarnya adalah gambar foto tidak bergerak (still Photo).

Seperti juga film dan video, pembuatannya memerlukan ketrampilan teknis artistik khusus, mulai dari penyusunan tema dan alur cerita, pengambilan gambar, penyuntingannya sesuai dengan rancangan alur cerita, sampai pengisian suara dan musik. Dan masih seperti film dan video dokumenter, slide suara yang bagus adalah tidak terlalu panjang, paling lama sekitar 15-20 menit saja, kira-kira sekitar 40-60 bingkai gambar (iframe).

Film Dokumenter dan Film Cerita

Inilah dua bentuk media audio visual paling mutakhir dan paling canggih. Video dokumenter mampu menggambarkan suatu kejadian atau keadaan tertentu secara hidup (vivid) sebagaimana adanya. Media ini sangat bagus digunakan untuk menyajikan kepada partisipan gambaran lengkap suatu kejadian atau keadaan sedemikian rupa sampai mampu mempengaruhi bukan hanya fikiran, tetapi juga perasaan mereka.

Apalagi kalau alur ceritanya dikemas sedemikian rupa dengan teknik-teknik pengambilan gambar yang cukup baik. Tentu saja, dibutuhkan ketrampilan teknis artistik dan peralatan khusus untuk memproduksi suatu video dokumenter yang bagus. Sama seperti slide suara, video dokumenter yang bagus juga tidak boleh terlalu panjang, jadi harus disunting (edit) sedemikian rupa menjadi paling lama 15-20 menit (menurut riset, kemampuan bertahan seseorang menonton video dokumenter rata-rata 14-16 menit saja).

Karena, video dokumenter memang bukan film certa yang orang bisa betah menontonya sampai 2-3 jam. Soalnya, meskipun video dokumenter atau pendapat orang dan sebagainya. Bedanya adalah bahwa dalam video dokumenter bisa dihiasi dengan gambar-gambar sisipan (insert), narasi atau musik dan lagu. Bahkan bisa ditambahkan gambar-gambar yang bersifat imajinatif juga menjad satu rangkaian cerita yang kini dikenal sebagai video semi dokumenter.

MULTI-MEDIA

Pertunjukan dan Upacara

Kita sebut jenis media ini sebagai multi media karena, dalam kenyataannya, memang menggabungkan berbagai jenis media yang diuraikan di atas tadi, mulai dari media simulasi (ada unsur “ permainan”nya), audio dan visual. Pertunjukkan (performance) biasanya mengambil bentuk teater (drama, sandiwara, atau lelakon tradisional seperti ketoprak, ludruk, wayang, lenong, dan sebagainya).

Tetapi, pertunjukkan teater sebagai media pelatihan bukanlah pertunjukan teater dalam artiannya yang konvensional. Memang ada kesamaan : harus ada alur cerita, unsur dramaturgi dan pemeranan. Tetapi, teater sebagai media pelatihan tidak harus diatas panggung yang disiapkan khusus dan dirancang secara artistik. Pada pelakonnya juga tidak harus aktor terlatih, cukup para partisipan sendiri yang juga menjadi penontonnya sekaligus.

Mereka juga yang bisa mengarang ceritanya atau bahkan bertindak langsung sebagai sutradaranya, sekaligus sebagai kelompok pemusik menggunakan benda-benda apa saja yang ada dan bisa menimbulkan suara artistik.

Meskipun demikian, tidak berarti merancang dan menggunakan media ini proses pelatihan tidak memerlukan keterampilan tertentu, paling tidak keterampilan dasar merangkai cerita, mengarang watak pelakon, mengatur tempo pertunjukan, dan beberapa keterampilan dasar lainnya. Yang jelas, keterampilan sebagai fasilitator untuk memancing diskusi, jadi bukan pertunjukan murni.

Teknik-teknik Riset Partisipatoris

Perkembangan paling mutakhir dari upaya panggabungan berbagai jenis media sekaligus adalah kegiatan riset sosial partisipatoris seperti Participatory Action Research (PAR) dan Participatory Rural Appraisal (PRA).

Bahkan, kedua jenis multi-media ini sudah berkembang lebih maju menjadi suatu kerangka metodologi pendidikan dan riset tersendiri yang diakui secara akademis resmi. Metoda PRA, misalnya, menggunakan berbagai jenis media sekaligus.

Jaringan Internet dan E-mail

Akhirnya, jenis multi media dengan teknologi mutakhir : internet dan e-mail. Masih banyak juga yang menganggap ini hanyalah media telekomunikasi biasa untuk bersurat-suratan dan menyiarkan sesuatu informasi. Padahal, jika anda memang kreatif dan punya imajinasi, sebenarnya jenis multi media ini pun dapat digunakan sebagai media pelatihan dan pendidikan yang efektif.

KOLABORASI ANTAR MEDIA

Dalam berbagai pengalaman memfasilitasi, seringkali di tengah-tengah proses pembahasan diperlukan media lain sebagai penguat, misalnya ; antara video film dikolaborasikan dengan senirupa, diperkuat lagi dengan diskusi kelompok dan didalam diskusi kelompok ada alat lagi untuk membantu mempertajam analisis, misalnya ; yang bernama “Analisa stakeholders”.

Media jelasnya harus membantu agar terjadi apa yang disebut “Proses Transformative “, media didayagunakan untuk mewujudkan terpetakannya masalah, bahkan harus dapat tergambarkan (Ilustrasi). Media juga membantu jalannya proses pemahaman melalui penggambaran hingga menemukan titik rahasianya, mampu melihat apa yang disebut lapisan-lapisan masalah, sehingga mampu memaknai masalah sesungguhnya yang telah dipahami sejak dari asal muasalnya itu, sampai mengerti kemana arah menemukan perbaikannya (proses kodifikasi sampai dekodifikasi) ketika proses belajar mampu mencapai transformasi pemahaman baru, apa yang dilihat, apa yang dilihat, apa yang dialami partisipan di dalam proses pelatihan bukan lagi merupakan “miniatur peristiwa”.

Bisa jadi merupakan” peristiwa luar biasa”, “peristiwa besar” karena proses yang terjadi berubah menjadi peristiwa yang mampu menunjukkan kesimpulan dan melahirkan kesadaran baru.

Bagian 4. Sekolah Di mana Saja

VISUALISASI PENDIDIKAN

Banyak orang di luar masyarakat melakukan proses-proses pendidikan melalui model-model pelatihan yang sesungguhnya hanya “pelatihan untuk pelatihan”. Kalau kita mau rendah hati belajar pada sejarah masa lalu, berdasarkan pengalaman selama ini, justru harus ada pembangunan sistem kerja yang akan menentukan kelangsungan sebuah proses pendidikan.

Perlu ada sistem yang mengatur berbagai jenis peran dan taraf kemampuan yang biasanya dibutuhkan sebagai sistem pendukung proses pendidikan di masyarakat, secara garis-besar, paling tidak dapat dikelompokkan sebagai berikut :

Ø Penyedaan berbagai bahan-bahan dan media kreatif untuk pendidikan dan pelatihan, sosialisasi dan aksi-aksi langsung.

Ø Perlunya mengembangkan kemampuan organisasi rakyat itu sendiri untuk merancang dan menyelenggarakan proses-proses pendidikan warga atau anggota mereka.

Ø Penelitian dan kajian, terutama dalam rangka penyediaan berbagai informasi sehingga semakin memperkaya isi (content) proses pendidikan yang diselenggarakan terus-menerus. Terutama juga menyangkut berbagai kebijakan dan perkembangan di tingkat nasional dan internasional, mengenai masalah atau isu utama yang diperjuangkan oleh rakyat setempat.

Ø Penyediaan prasarana dan sarana kerja organisasi.

Tugas fasilitator mengambil bagian saat masyarakat yang didampingi tidak mampu berpartisipasi dalam analisa ‘kompleks’. Fasilitator harus dibiasakan dengan metode yang baru-mendengarkan daripada mengatakan sesuatu kepada masyarakat yang didampinginya, menciptakan situasi belajar daripada mendiktekan istilah dan kondisi, memudahkan pengawasan riset dan/atau proses perkembangan.

Apa yang telah menjadi sangat jelas dari proses pendidikan langsung di tengah masyarakat, merupakan kepentingan awal yang segera di mulai dengan orientasi terbangunnya sistem pendidikan yang kelak akan dilakukan sendiri oleh masyarakat setempat.

Mulai dengan Kerja Lapangan

Ada beberapa langkah yang dapat digunakan agar kerja lapangan dapat berjalan lancar:

Ø Diskusikan terlebih dahulu faktor-faktor apa saja yang menghambat dan menciptakan kekakuan, kebekuan.

Ø Sarankan kepada tiap kelompok untuk memutuskan masalah, metode, dan para kader di komunitas yang akan mereka ajak untuk memulai.

Ø Dorong kelompok untuk memulainya dengan aktivitas nyata yang membutuhkan masuka kelompok, yang telah dipraktikkan sebelumnya dan hampir membawa hasil yang jelas.

Ø Mengorganisasikan sesi “kerjakanlah sendiri” untuk memulai kerja lapangan dengan melibatkan aktivitas partisipan setiap harinya.

Ø Ajak kelompok untuk tetap releks.

Bersama mereka lakukan visualisasi masalah dengan menggunakan diagram dalam rangka menghasilkan informasi yang bisa dipercaya. Masyarakat didorong untuk menganalisa kondisi mereka sendiri dan menunjukkannya agar semua orang tahu.

Sebaiknya, lakukan pengecekan silang diantara mereka menyangkut informasi. Proses ini merangsang urutan penyesuaian dan peningkatan, baik oleh individu yang membangun maupun oleh yang melihat. Sebagai hasilnya, hasil akhir seringkali berbeda dengan percobaan pertama.

Menjaga agar Proses Tetap Berjalan

Diskusi memfokuskan pada masalah inti, para partisipan juga didorong untuk mempertimbangkan poin kunci belajar dari manfaat metode yang digunakan. Fasilitator harus selalu mengingatkan kepada partisipan dengan cara menanyakan kembali kepada kelompok apakah lebih baik untuk kembali berdiskusi di tempat lain untuk menganalisa lebih lanjut atau tetap di lapangan selama beberapa jam.

Mengikuti reaksi yang beragam, dengan beberapa partisipan yang tertarik untukmengakhiri hari kerjanya, fasilitator mendorongnya untuk kembali ke lapangan, karena merupakan reaksi yang wajar untuk memilih pulang beristirahat daripada bekerja lagi.

Sekolah Tanpa Dinding

Yang selalu nampak pada Sekolah Lapangan adalah peran aktif petani sebagai pelaku, peneliti, pemandu dan manajer lahan yang ahli. Materi pengembangan manusia dan analisis sosial tidak kalah penting dengan ilmu pertanian dalam penyelenggaraan Sekolah Lapangan, sebagaimana tercermin dalam kegiatan perencanaan, dinamika kelompok dan sebagainya.

Sekolah dimana saja, tidak selalu digedung, tidak harus di kampus-alam semesta itulah sekolahan semesterinya, sekolahan yang sejati, sekolah yang paling hakiki.

Bagian 5. Menyelenggarakan Pelatihan

Latihan: Menyekolahkan Kembali Masyarakat

Pada umumnya latihan lebih menyangkut peranan penunjang berbagai fungsi dan peranan tertentu dalam masyarkat.

Latihan:Di mana-mana Latihan:

Latihan merupakan suatu upaya besar dan luas, karena itu perlu mendapat perhatian kita.Sementara di Indonesia dewasa ini terdapat lebih dari sejuta pelajar beramai-ramia untuk memperoleh berbagai macam pendidikan tinggi, lebih banyak lagi orang dewasa akan mengikuti berbagai jenis latihan.

Mengubah untuk Mengatasi Perubahan

Sekolah tidak berdaya untuk mengikuti irama arus gerak perubahan dan pada gilirannya penyelenggaraan pendidikan massal yang lebih terspesislisasikan tumbuh menjamur yakni latihan atau kursus.

Manfaat keluasan serta kehadiran latihan sebagai sebuah mekanisme sosial menuntut seurang-kurangnya upaya kita untuk menguji dalam rangka membuat semacam gambaran penyelenggaraan latihan pada saat ini.

Latihan Tidak Terlepas dari Proses Perubahan

Konsep tentang pelatihan sendiri mengalami perubahan cukup pesat pada akhir-akhir ini, sejalan dengan oleh pengaruh evolusi ilmu-ilmu sosial, terutama dengan munculnya teori psikologi modern.

Tiga Domain Belajar

1. Karya, domain ini menyangkut masalah kontrol terhadap lingkungan secara teknis, termasuk lingkungan sosial.

2. Interaksi, ciri bidang ”praktis” ini adalah aksi komunikatif yang melayani kepentingan-kepentingan praktis. Ilmu diciptakan melalui proses interaksi dan bukan sekedar diwahyukan.

3. Kekuasaan dan Pembebasan, bidang ini mempunyai perhatian yang besar kepada persoalan bagaimana kekuatan-kekuatan internal dan lingkungan eksternal membatasi kontrol kita terhadap kehidupan kita sendiri dan membatasi pilihan-pilihan kita.

Latihan (Training) untuk Berkarya

Sebagian besar teori belajar yang dijadiakan pegangan oleh para pemandu berasal dari teori-teori belajar yang diajarkan dalam psikologi, seperti: Stimulus-Respons Theory (S-R Theory), Cognitive Theory dan Motivatioan and Personality Theory. Berikut ini simpul-simpul teori belajar yang diberikan Ernest Hilgard dan Gordon Bower:

Dari Teori S-R

1. Murid harus aktif

2. Frekuensi latihan yang cukup tinggi sangat penting untuk memperoleh keterampilan dan retensi dilakukan belajar secara berulang-ulang.

3. Murid yang depat mengulang dengan baik dan menjawab dengan benar dapat diberi ganjaran.

4. Generalisasi dan diskriminasi memberi kesan akan pentingnya praktik dalam konteks yang bervariasi, sehingga belajar adalah penting bagi jajaran stimulus yang lebih luas.

5. Tingkah laku yang baru dicapai lewat peniruan model, pengenalan dan pembentukan tingkah laku.

6. Drive state yang tidak memerlukan penyesuaian secara keseluruhan paa prinsip-prinsip drive education yang didasarkan pada eksperimen penghilangan makna.

Dari Teori Cognitive

1. Organisasi pengetahuan yang akan disajikan tidak mengalami arbitrasi.

2. Situasi belajar dipengaruhi oleh kebudayaan secara luas maupun sub-kebudayaan di mana orang merasa memiliki.

3. Cognitif feedback semestinya mengkonfirmasikan pengetahuan yang benar dan membuat koreksi terhadap belajar yang salah.

4. Penentuan tujuan belajar oleh murid penting sebagai motivasi belajar, keberhailan dan kegagalan dalam belajar itu sangat menentukan bagaimana ia menentukan bagaimana ia menetapkan tujuan-tujuan di masa yang akan datang.

5. Pemikiran yang berbeda-beda yang mengacu pada pemilihan alternatif perlu dikembangkan secara terpadu dan hanya mempunyai satu cara yang logis untuk satu jawaban yang benar.

Dari Teori Motivasi dan Kepribadian

1. Memperhatikan kemampuan masing-masing murid sangat penting. Rat-rata cara dan waktu belajar masing-masing individu berbeda sehingga harus diakomodasikan dalam desain training.

2. Perkembangan setelah bayi lahir, pengaruh keturunan, serta bakat dan kemampuan sama pentingnya untuk diperhatikan.

3. Tingkat ketegangan mempengaruhi belajar manusia antara satu individu dan yang lainnya.

4. Situasi yang sama mungkin saja menghasilkan motivasi yang berbeda-beda, tergantung apakah mereka diarahkan untuk afiliasi kebutuhan atau pencapaian tujuan.

5. Organisasi motif dan nilai yang terkandung dalam individu sesuai dengan cara belajarnya.

Menyiapkan Latihan

Rumuskan Tujuan Latihan

Apa alasan anda menyelenggarakan pelatihan? Siapa yang akan anda latih? Dan lain sebaginya. Dalam tempo yang berbeda anda mungkin akan menggunakan satu atau lebih dari beberapa tema atau tujuan pokok itu, yaitu:

1. Dalam rangka mengubah sikap dan tingkah laku

2. Mempengaruhi dan meyakini sesuatu

3. Mensosialisasikan informasi tetentu

4. Merangsang atau mendorong pikiran-pikiran peserta

5. Hanya sekedar menghibur

6. Memberikan motivasi melakukan sesuatu

Pada penyelenggaraan pelatihan selalu ada dua macam tujuan umum, yaitu:

Yang pertama, tujuan yang sudah dirumuskan seperti cita-cita yang sangat tinggi, dan orientasi peda proses belajarnya menjadi bagian yang paling penting yang harus diperhatikan.

Yang kedua, tujuan yang lebih spesifik dan sering dihubungkan dengan keterampilan nyata yang diharapkan dapat dimiliki oleh seorang partisipan.

Mengetahui Siapa Partisipan

Coba perhatikan hal-hal yang menyangkut partisipan sebagai berikut:

1. Berapa banyak peserta yang diundang, dan berapa yang hadir?

2. Mengapa mereka mau datang, apakah kemauan mereka sendiri ataukah ada orang lain yang memerintahkan mereka untuk datang?

3. Apa harapan dan keinginan yang mereka peroleh?

4. Apa kekhawatiran dan hal yang tidak diinginkan terjadi selam pelatihan?

Pertanyaan tersebut akan membantu Anda mementukan program pendek yang harus Anda siapkan, materi latihan dan cara membantu proses belajar yang harus Anda seleksi.

Persiapan Ruangan

Persiapan ruangan mempunyai pengaruh besar pada proses pendidikan. Mekipun ada banyak model mengatur ruangan, tetapi paling tidak ada 6 tipe utama:

1. Tiga meja untuk masing-maing kelompok

a. Keuntungan:

· Seperti perjamuan sederhana

· Dengan meja diarahkan di depan, tiga meja sema tertutup bersama-sama maka lebih baik dari pada perjamuan untuk kerja kelompok

b. Kerugian:

· Memerlukan banyak meja, lebih baik dari pada ukuran perjamuan, jika jumlah kelompok lebih besar

· Meja memerlukan banyak ruang

2. Bentuk huruf U (Tapal Kuda)

a. Keuntungan:

· Fasilitator dapat berjalan diantara partisipan

· Fasilitator dapat melihat secara langsung semua partisipan

b. Kerugian:

· Partisipan belajar sepanjang huruf U tidak dapat secara langsung melihat peseta yang lain

· Sedikit orang dapat dengan mudah memasuki ruangan

· Tidak mungkin memisahkan kelompok yang kritis tanpa mengubah letak kursi dan meja

3. Perjamuan atau model tulang ikan

a. Keuntungan:

· Partisipan diatur dalam kelompok

· Peraturan yang mudah untuk digunakan dengan mencampur kelompok yang kritis dengan kelompok pekerja pada waktu pelatihan

· Fasilitator dapat berjalan lebih mudah diantara kelompok

b. Kerugian:

· Sedikit orang dapat memasuki ruangan

· Partisipan tidak dapat melihat secara langsung kepada semua orang yang mengikuti pelatihan

· Jika meja terlalu panjang dan tipis, partisipan pada akhir latihan lebih suka keluar dari pembicaraan

4. Model konferensi

a. Keuntungan:

· Tempat yang besar dari partisipan untuk melihat secara langsung peerta yang lain

· Meja yang besar berguna untuk diskusi kelompok secara penuh

b. Kerugian:

· Tidak dapat memisahkan dalam kelompok kecil dengan mudah

· Partisipan tidak dapat dengan mudah mengelilingi meja

· Selama diskusi umum, beberapa sud diskusi mungkin membentuk dan memisahkan diri dari proses

5. Model melingkar atau setengah melingkar

a. Keuntungan:

· Orang dapat rileks dan memerima pelatihan dengan baik

· Partisipan dapat bersikap secara terbuka

· Tidak ada posisi utama bagi pelatih, maka sangat egalitarian

· Mudah memindah dalam contoh variasi dan game

· Orang berheti melekatkan sesuatu pada meja tulis atau kursi

b. Kerugian:

· Tidak ada kesungguhan pada awal bekerja

· Tidak ada meja untuk buku dan materi

· Tidak ada rintangan fisik, maka keterbukaan yang diperlukan

· Intimidasi peserta yang takut

· Dalam kelompok besar, partisipan duduk jauh dari mereka.

6. Model berderet dari meja dan kursi

a. Keuntungan:

· Dapat lebih mempermudah orang masuk ruangan

· Setiap orang melihat ke depan

b. Kerugian:

· Partisipan tidak dapat melihat secara langsung dengan tiap-tiap peserta yang lain

· Kesulitan bagi failitator untuk melihat secara langsung pertisipan bagian belakang

· Tidak mungkin memisahkan kelompok tanpa mengubah letak meja dan kursi

· Terdapat jarak antara pelatih dengan orang yang duduk jauh di belakang.

Waktu Pelatihan

Penggunaan waktu juga berpengaruh pada bagaimana orang secara seksama memberi respon terhadap jenis metode dan pendekatan belajar. Di pagi hari orang p[ad umumnya lebih berkonsentrasi. Setelah makan siang ketika sudah kenyang, fasilitator dan pembicara harus menghindari model ceramah. Karena saat itu persis jam ngantuk, partisipan lelah, lambat memberi respon, dan memerlukan teknik belajar yang lebih hidup, partisipasi yang lebih aktif dan lebih baik.

Tahap dan Isi Latihan

Materi apa saja yang dibicarakan, bagaimana tahapannya, membutuhkan waktu berapa, dan kira-kira memerlukan narasumber atau tidak, merupakan hal penting yang harus dibicarakan pada awal pendidikan. Tahap ini disebut dengan KONTRAK BELAJAR. Coba mulailah dengan pertanyaan yang harus dijawab peserta baik dengan tertulis atau lisan tentang:

1. Apa saja yang telah dipelajari partisipan menyangkut topik pendidikan Anda?

2. Apa lagi yang masih mereka butuhkan untuk dipelajari lebih banyak?

3. Berapa waktu yang dibutuhkan untuk membicarakan materi itu?

Selanjutnya untuk membantu dalam seleksi materi, coba minta partisipan untuk menulikan tentang:

1. Apa yang HARUS diketahui dan dipahami?

2. Apa yang SEBAIKNYA diketahui dan dipahami?

3. Dan apa yang BOLEH ATAU DAPAT dipahami?

4. Artikulasi dan Ekspresi

Tuntutan yang membantu anda mengartikulasikan pikiran anda melalui:

1. Tidak perlu ragu-ragu

2. Menggunakan suara vokal yang panjang dan tinggi, suara yang kuat untuk mengekspresikan dan tekanan kalimat anda

3. Tindakan yang sedikit tidak mudah untuk melebih-lebihkan seperti yang anda pikirkan

4. Berbicara secara terbuka

5. Berbicara secara terbuka dengan ritme agak cepat tapi tidak berteriak

Teknik Bertanya

Teknik bertanya dalam proses fasilitasi, sebenarnya sederhana saja. Yang paling penting adalah kesadaran unutuk tetap taat akan azas pada prinsip-prinsip latihan partisipatif. Hal-hal yang bersifat lebih teknis, antara lain:

1. Sebaiknya usahakan agar setiap pertanyaan yang diajukan tidak panjang lebar—singkat dan jelas

2. Usahakan justru jangan sampai peserta “gelagapan” atau malah gugup menjawabnya, hindari pertanyaan bersifat tendencius

3. Dalam meneruskan sebuah pertanyaan dari peserta ke partisipan lainnya, hindari jangan sampai justru peserta yang bersangkutan terjadi debat diluar kendali fasilitator

Sebagai pedoman teknis, jenis-jenis pertanyaan dasar yang paling sering digunakan dalam kegiatan latihan selama ini, antara lain sebagai berikut:

Pertanyaan ingatan

“Dimana Anda mengalami?”

“Kapan hal itu terjadi?”

Pertanyaan Pengamatan

“Apa yang sedang terjadi?”

Pertanyaan Analitik (urai sebab-akibat): “Mengapa perbedaan pendapat itu terjadi?”

Pertanyaan Hipotetik (memancing praduga)

“Apa yang akan terjadi jika..................?”

“Kemungkinan apa akibatnya seandainya.................?”

Pertanyaan Pembanding

“Siapakah dalam hal ini yang benar?”

“Mana yang anda anggap paling tepat antara...........dan.............?”

Pertanyaan Proyektif

“Coba bayangkan seandainya anda menghadapi situasi seperti itu, apa yang akan anda lakukan?”

Pertanyaan Tertutup

“IYA KAN?”

“Dengan demikian maka.......”

Ø APA”,”SIAPA”,”DIMANA” dan “KAPAN”, adalah kata tanya untuk mengungkap fakta

Ø “BAGAIMANA”dan “MENGAPA”, adalah kata tanya untuk mengungkapkan fakta maupun pendapat (opini), menganalisa dan memberi kesimpulan

Ø “MENGAPA”, adalah kata tanya untuk mengungkapkan pendapat

Ø “DIMANA” dan “KAPAN”, untuk mengungkapkan apa yang nyata-nyata terjadi atau dilakukan peserta

Tahap-tahap Akhir

Jalan yang terbaik untuk belajar dari peserta, Andalah yang bertanya pada partisipan untuk mengevaluasi. Hal ini dapat dikerjakan secara formal dengan evaluasi tulisan dari pengalaman latihan mereka. Tidak menanyakan lebih dari satu atau dua halaman dari pertanyaan. Anda dapat menanyakan pertanyaan spesifik tentang substansi dan penyelenggaraan pelatihan.

Beberapa Pertimbangan untuk Penyelenggaraan Latihan

Metode partisipatif merupakan komponen penting merupakan komponen penting dari latihan, sebaiknya mempunyai beberapa komponen pertimbangan:

1. Latihan sebaiknya mengambil tempat dalam komunitas masyarakat dan sebaiknya didasarkan pada problem lokal yang praktis

2. Latihan sebaiknya menitikberatkan pada penyelesaian masalah dan diharapkan dapat melahirkan keputusan

3. Latihan sebaiknya interaktif, agar partisipan dapat menganalisa hal secara detail dan melaporkan hasilnya pada waktu yang lain

4. Waktu yang signifikan sebaiknya memberikan pengalaman diantara kelompok

5. Menganalisa kemampuan, perencanaan dan taksiran sebaiknya dikonsolidasi lebih luas melalui contoh dalam masyarakat yang diberi fasilitas oleh partisipan.


Judul Buku: PENDIDIKAN POPULAR Membangun Kesadaran Kritis

Pengarang: Roem Topatimasang, Toto Raharjo

Terbit thn 2001, jml hal 248