Jumat, 8 Mei 2009
Mulai tahun 2009, pemerintah tak lagi menerapkan ujian nasional (UN) bagi peserta kursus. Sebagai gantinya, setiap lulusan lembaga kursus diwajibkan ikut uji kompetensi yang digelar Lembaga Sertifikasi Kompetensi (LSK), yang dikelola para praktisi bidang keahlian masing-masing. "Melalui uji kompetensi ini, diharapkan tercipta standar nasional lulusan lembaga kursus agar bisa bersaing di pasar kerja di seluruh Indonesia," kata Hamid Muhammad, Dirjen Pendidikan Nonformal dan Informal (PNFI) Departemen Pendidikan Nasional, saat melihat dari dekat pelaksanaan uji kompetensi dan sertifikasi TIK (teknologi informasi dan komputer) di Lembaga Kursus Komputer AlfaBank, Kota Solo, Jawa Tengah, akhir pekan lalu. Lembaga kursus selama ini memainkan peran yang sangat besar dalam menciptakan sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang andal, melengkapi ilmu yang diberikan di pendidikan formal. Sebab, hampir sebagian besar peserta kursus merupakan peserta didik di pendidikan formal. Tercatat sekitar 1,4 juta peserta kursus dari 13.000 lembaga kursus yang tersebar di seluruh Indonesia. Menurut Hamid, jika 80 persen saja bisa lulus dan langsung terserap ke dunia kerja, itu berarti jumlah penganggur di Indonesia akan berkurang satu juta setiap tahunnya. "Tingginya angka pengangguran menjadi persoalan pelik yang mesti diatasi pemerintah. Ini terjadi karena sempitnya lapangan kerja dan minimnya kompetensi yang dimiliki para pencari kerja. Untuk itu, lembaga pendidikan nonformal seperti kursus memiliki peranan yang penting dalam upaya mengentaskan pengangguran. Tidak perlu heran jika lembaga kursus kini menjadi solusi," ujarnya. Hamid menambahkan, pihaknya saat ini tengah melakukan tiga langkah pembaruan dalam bidang pendidikan kursus. Pertama, pendataan lembaga kursus. Lembaga kursus yang asal jadi atau bahkan tinggal papan nama akan ditertibkan. Langkah kedua adalah melakukan penguatan lembaga atas dasar penilaian kinerja dan akreditasi lembaga kursus. Penguatan ini antara lain akan dilakukan dengan pemberian bantuan (block grant) bagi lembaga kursus yang memiliki manajemen bagus dan layak. Sedangkan langkah terakhir adalah penjaminan mutu lembaga kursus melalui uji kompetensi lulusan. Ditargetkan selama kurun 2009, pihaknya akan melakukan uji kompetensi di 250 tempat untuk berbagai jenis keterampilan kerja di seluruh Indonesia. Uji kompetensi tahap awal adalah keterampilan TIK. Untuk jenis keterampilan lainnya, seperti LSK spa dan LSK rias pengantin, akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Peserta yang lulus uji kompetensi akan mendapat sertifikat, yang bisa digunakan untuk bersaing di dunia kerja di seluruh Indonesia karena sudah berstandar nasional. "Ujian ini bersifat wajib dan berlaku sama untuk semua siswa yang tercatat di lembaga kursus. Hanya, bedanya, waktu uji kompetensi tidak bersifat serentak di seluruh lembaga kursus yang ada di Indonesia. Jadwal uji kompetensi disesuaikan dengan masa berakhirnya waktu kursus," ucap Hamid yang pada kesempatan itu didampingi Direktur Lembaga Kursus Depdiknas, Wartanto. Uji kompetensi lembaga kursus disusun dan dikeluarkan oleh Lembaga Sertifikasi Kursus (LSK) yang beranggotakan pakar dari bidang keterampilan masing-masing, bukan oleh Depdiknas. Jadi, standar kompetensi benar-benar disesuaikan dengan kebutuhan dunia kerja. "Karena itu, kami minta pada LKS untuk tegas dalam memberi penilaian. Jika tidak, nama LKS yang dipertaruhkan," katanya. Terkait dengan hal itu, Ketua LSK TIK Jawa Tengah, Janis Hendratet, mengatakan, pihaknya menetapkan standar keterampilan yang tinggi terhadap peserta uji kompetensi. Artinya, jika siswa tidak mampu menjalankan tugas yang menjadi bagiannya pada TIK, peserta bisa dinyatakan tidak lulus. Mereka diberi kesempatan untuk mengulang hingga kemampuannya dinyatakan sesuai dengan kompetensi di pasar kerja. "Bukan rahasia lagi jika ada lembaga kursus yang hanya 'menjual' ijazah, tanpa memperhatikan keterampilan lulusannya. Padahal, nilai jual dari lembaga kursus itu kan keterampilan. Coba, betapa memalukannya jika lulusan lembaga kursus komputer hanya bengong saja ketika disuruh membuat laporan keuangan dengan Excel," kata Janis mencontohkan. Dengan adanya uji kompetensi, menurut Janis, semua lulusan lembaga kursus diharapkan memiliki tingkat penguasaan keterampilan kerja yang sesuai standar. Dalam uji kompetensi ini, materinya 85 persen berupa ujian praktik, sedangkan 15 persen sisanya adalah teori. Disinggung soal uji kompetensi yang sebelumnya pernah dilakukan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP)-lembaga yang dibentuk pihak swasta murni-Hamid mengatakan, hal itu tidak menjadi kewajiban lagi bagi peserta. Sebab, selain berbiaya mahal, lembaga tersebut tidak di bawah kendali Depdiknas. "Sulit memantau perkembangannya karena lembaga tersebut murni swasta. Dengan adanya LSK, proses uji kompetensi sepenuhnya ada di sana," kata Hamid menandaskan. (Tri Wahyuni)
sumber: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=226436
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar