Oleh Zita Meirina
Jakarta (ANTARA News) - Waktu menunjukkan tepat pukul 12.00 siang, beberapa ibu muda bergegas meninggalkan ruangan kerjanya menuju ruang bercat warna warni di lantai dasar Gedung E Depdiknas yang menjadi lokasi Tempat Penitipan Anak (TPA) "Mekar Asih".
Meski pintu kaca menuju ruang bermain terkunci namun ibu-ibu muda tersebut masih dapat mengintip aktivitas anak-anak mereka dari kejauhan yang sebagian tengah menyusun permainan balok sementara lainnya asyik menggambar.
Rita (35 th) adalah salah satu dari puluhan pegawai Depdiknas yang menitipkan pengasuhan anak perempuannya yang berusia 4,5 tahun di TPA Mekar Asih. Rita mengaku khawatir bila menyerahkan masalah pengasuhan anak kepada pembantu atau pengasuh anak di rumah.
"Beruntung di tempat saya bekerja tersedia TPA yang didirikan ibu-ibu Dharma Wanita dan kini dibina oleh Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), artinya anak saya tidak hanya sekedar bermain tetapi juga mendapat bimbingan dari para pengasuh yang paham betul tentang pendidikan pra sekolah," katanya.
Di tempat ini sedikitnya para orangtua akan merasa tenang bekerja tanpa harus memikirkan si buyung di rumah tanpa pengawasan orang tua. Apalagi bila TPA tesebut didirikan atas dasar kepedulian sosial sehingga tidak sekadar unsur komersil yang ditonjolkan tetapi lebih mementingkan misi sosialnya.
Sementara bagi Mira (29 th) karyawan sebuah perusahaan multi nasional di kawasan Jenderal Gatot Subroto Jaksel, kehadiran TPA di kantornya menjadi "dewa penolong" di saat pengasuh anaknya tiba-tiba minta pulang kampung.
"Saya ingat waktu itu betapa bingung memikirkan siapa yang akan menjaga Keisha (3th) sementara saya dan suami harus bekerja. Untung perusahaan saya adalah perusahaan asing yang memperhatikan kebutuhan-kebutuhan di luar tugas pekerjaan dan salah satunya dengan menyediakan TPA," katanya.
Mira kini malah memilih untuk mempercayakan pengasuhan anaknya di TPA yang berada di lingkungan kantornya. Setiap pagi sebelum masuk kerja, Mira mengantar Keisha ke TPA dan sore pukul 16.00 menjemputnya untuk diajak pulang ke rumah.
"Kalau kemarin tidak ditinggal pengasuh anak mungkin saya dan suami tidak pernah mengenal langsung TPA dan mungkin tetap kurang peduli terhadap pendidikan di usia Keisha," katanya.
Rita dan Mira memang hanya sedikit saja dari mayoritas wanita bekerja yang menyadari akan keterbatasan mereka untuk memberikan pendidikan pra sekolah pada anak-anak mereka.
TPA mungkin tidak sepopuler pendidikan pra sekolah lain yang kini tumbuh subur menjadi bisnis komersil dengan berbagai tawaran menggiurkan mulai dari yang sederhana kemampuan calistung, komputer hingga bahasa Inggris.
Namun sesungguhnya yang terpenting dan ingin dicapai dari tumbuhnya kesadaran orang tua untuk membawa anaknya mengikuti pendidikan pra sekolah, yakni anak memiliki kesempatan mengembangkan kemampuan di masa-masa yang disebut sebagai usia emas (golden age).
Kesadaran
Tempat Penitipan Anak selayaknya memang menjadi bagian dari perencanaan pengembangan pusat pelayanan publik, seperti pasar, perkantoran, pusat perbelanjaan, bahkan kini Depdiknas merintis penyelenggaraan TPA di rumah-rumah ibadah.
Ketua Himpunan Pendidik Pendidikan Anak Usia Dini (Himpaudi), Dr Damanhuri mengaku prihatin karena sebagian besar masyarakat Indonesia baik di kota besar maupun di pelosok daerah belum menyadari pentingnya pendidikan bagi anak usia dini.
Hal itu dibuktikan dengan rendahnya jumlah anak usia dini yang mendapat pelayanan pendidikan, terutama anak di bawah usia lima tahun.
"Tidak semua anak usia pra sekolah mendapat pendidikan yang layak di usianya karena berbagai faktor di antaranya menyangkut kondisi perekonomian yang lemah sehingga waktu orang tua lebih banyak tersita untuk mencari nafkah atau kesibukan bekerja pasangan suami istri. Ini membuat orang tua menganggap pendidikan pra sekolah tidak begitu penting," katanya.
Selain itu, menyangkut kualitas asuhan. Karena terimpit berbagai persoalan hidup, banyak ibu yang tidak memperhatikan pola pengasuhan ideal kepada anak-anaknya, misalnya, dalam pemberian buku-buku bacaan, katanya.
Ironisnya, rendahnya kesadaran untuk memasukan anak usia pra sekolah ke lembaga pendidikan anak usia dini justru terjadi pada pasangan bekerja di kota-kota yang umumnya berpendidikan cukup tinggi.
"Kalau mereka tidak mempercayakan pendidikan usia dini anak pada lembaga yang tersedia apakah TPA atau lainnya, maka orang tua itu wajib mengambil alih pendidikan pra sekolah di rumah atau dalam lingkungan keluarga," katanya.
Di negara-negara lain, PAUD menjadi bagian dari prioritas pemerintah sehingga implikasinya terhadap ketersediaan alokasi anggaran.
"Di Indonesia prioritas pendidikan dimulai dari pendidikan dasar sembilan tahun dan seterusnya, sementara pendidikan pra sekolah justru masih sekedar subtitusi," katanya.
Ironisnya, pemerintah sadar atau tidak justru di usia dini berbagai kemampuan anak mulai berkembang dan kalau "input-nya" tidak digarap secara baik, maka output-nya pun bisa dilihat kemudian," katanya.
Menurut data terbaru tentang jumlah anak usia dini di Indonesia pada tahun 2005 yang lalu lebih dari 100 juta jiwa. Tetapi yang dapat terlayani seperti pada Kelompok Bermain, Taman Bermain pemerintah maupun oleh masyarakat umum hanya sekitar 60 persen.
Pemerintah menargetkan tahun 2007 jumlah anak usia dini yang mendapat layanan PAUD usia 0-6 tahun sebanyak 28,4 juta orang dan usia 2-4 tahun sebanyak 12,1 juta anak.
Sedangkan untuk tahun 2008 ditargetkan jumlah anak yang mendapat layanan PAUD usia 0-6 tahun sebanyak 28,5 juta jiwa dan usia 2-4 tahun sebanyak 12,2 juta anak.
PAUD untuk Semua
Dari berbagai penelitian terbukti bahwa usia dini (0-6 tahun) merupakan periode atau masa keemasan (the golden age) yang sangat menentukan tahap perkembangan anak selanjutnya.
Disebutkan bahwa kecerdasan anak 50 persen dicapai pada usia 0-4 tahun, sebanyak 80 persen pada usia delapan tahun dan 100 persen pada usia 18 tahun.
Pada masa emas, seorang anak mampu menyerap ide dan ilmu/pelajaran jauh lebih kuat daripada orang dewasa, sehingga memberikan pendidikan kepada anak di usia tersebut sangat penting untuk tumbuh kembangnya.
Penelitian itu juga menyebutkan, kecepatan pertumbuhan otak anak sangat tinggi hingga mencapai 50 persen dari keseluruhan perkembangan otak anak selama hidupnya sehingga pada usia emas merupakan waktu yang sangat tepat untuk menggali segala potensi kecerdasan anak sebanyak-banyaknya.
Namun sayangnya, pemahaman masyarakat akan pentingnya pendidikan anak usia dini masih terbilang rendah.
Dirjen Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Depdiknas, Ace Suryadi mengakui saat ini penyelenggaraan PAUD belum menjadi prioritas pemerintah sehingga penyelenggaran PAUD masih menjadi inisiatif swasta dan masyarakat .
"Karena belum menjadi prioritas, maka masih banyak anak usia dini yang berada di pedesaan serta mereka yang berasal dari keluarga miskin tidak memiliki kesempatan memperoleh pendidikan yang layak sebelum memasuki jenjang pendidikan dasar 9 tahun," katanya.
Karena itu, Depdiknas tengah merintis program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) berbasis keluarga atau home schooling PAUD untuk memperluas akses pendidikan pra sekolah bagi anak usia 0-6 tahun khususnya bagi kelompok tidak mampu sebelum memasuki pendidikan dasar.
"Konsep dasar dirintisnya PAUD berbasis keluarga adalah karena banyak orang tua yang belum memperoleh kesempatan untuk mengirimkan anaknya ke PAUD, seperti taman penitipan anak, Taman Kanak-kanak dan sejenisnya karena keterbatasan ekonomi," katanya.
Program ini akan membina orang tua dan keluarga untuk terlibat langsung mengembangkan fungsi jasmani dan rohani anak berkembang secara baik, " kata DR Ace Suryadi .
Ia mengatakan, program PAUD berbasis keluarga bertujuan untuk menanamkan konsep pendidikan bagi anak pra sekolah dengan cara-cara benar seperti tanpa kekerasan, tanpa ancaman, tanpa harus ditakut-takuti sehingga tanpa memandang status dan latar belakang keluarganya, maka anak-anak memiliki kesempatan untuk tumbuh kembang secara baik dan siap memasuki pendidikan lanjutan.
PAUD nonformal secara mandiri telah diselenggarakan oleh masyarakat. Bahkan bisa dikatakan 90 persen PAUD dalam bentuk taman penitipan anak /TPA, kelompok bermain diselenggarakan masyarakat baik dari kelompok agama, maupun organisasi perempuan , katanya.
"Untuk menjangkau masyarakat secara lebih luas, maka rintisan PAUD informal berbasis keluarga telah dirintis dengan membuat pedoman umum yang berisi prinsip-prinsip mendidik anak dengan baik dan benar bekerja sama dengan perguruan tinggi ," katanya.
Memasuki tahun ke 5 pencanangan PAUD belum terlihat hasil maksimal, karena di berbagai daerah masih jalan di tempat.
Banyaknya anak usia dini belum terlayani dengan baik. Hal ini memang merupakan satu tantangan besar bagi pemerintah, karena mereka merupakan aset yang bernilai tinggi bagi bangsa.(*)
sumber: http://www.antara.co.id/arc/2007/6/23/pendidikan-bagi-anak-usia-dini-bukan-sekedar-pilihan/
Jakarta (ANTARA News) - Waktu menunjukkan tepat pukul 12.00 siang, beberapa ibu muda bergegas meninggalkan ruangan kerjanya menuju ruang bercat warna warni di lantai dasar Gedung E Depdiknas yang menjadi lokasi Tempat Penitipan Anak (TPA) "Mekar Asih".
Meski pintu kaca menuju ruang bermain terkunci namun ibu-ibu muda tersebut masih dapat mengintip aktivitas anak-anak mereka dari kejauhan yang sebagian tengah menyusun permainan balok sementara lainnya asyik menggambar.
Rita (35 th) adalah salah satu dari puluhan pegawai Depdiknas yang menitipkan pengasuhan anak perempuannya yang berusia 4,5 tahun di TPA Mekar Asih. Rita mengaku khawatir bila menyerahkan masalah pengasuhan anak kepada pembantu atau pengasuh anak di rumah.
"Beruntung di tempat saya bekerja tersedia TPA yang didirikan ibu-ibu Dharma Wanita dan kini dibina oleh Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), artinya anak saya tidak hanya sekedar bermain tetapi juga mendapat bimbingan dari para pengasuh yang paham betul tentang pendidikan pra sekolah," katanya.
Di tempat ini sedikitnya para orangtua akan merasa tenang bekerja tanpa harus memikirkan si buyung di rumah tanpa pengawasan orang tua. Apalagi bila TPA tesebut didirikan atas dasar kepedulian sosial sehingga tidak sekadar unsur komersil yang ditonjolkan tetapi lebih mementingkan misi sosialnya.
Sementara bagi Mira (29 th) karyawan sebuah perusahaan multi nasional di kawasan Jenderal Gatot Subroto Jaksel, kehadiran TPA di kantornya menjadi "dewa penolong" di saat pengasuh anaknya tiba-tiba minta pulang kampung.
"Saya ingat waktu itu betapa bingung memikirkan siapa yang akan menjaga Keisha (3th) sementara saya dan suami harus bekerja. Untung perusahaan saya adalah perusahaan asing yang memperhatikan kebutuhan-kebutuhan di luar tugas pekerjaan dan salah satunya dengan menyediakan TPA," katanya.
Mira kini malah memilih untuk mempercayakan pengasuhan anaknya di TPA yang berada di lingkungan kantornya. Setiap pagi sebelum masuk kerja, Mira mengantar Keisha ke TPA dan sore pukul 16.00 menjemputnya untuk diajak pulang ke rumah.
"Kalau kemarin tidak ditinggal pengasuh anak mungkin saya dan suami tidak pernah mengenal langsung TPA dan mungkin tetap kurang peduli terhadap pendidikan di usia Keisha," katanya.
Rita dan Mira memang hanya sedikit saja dari mayoritas wanita bekerja yang menyadari akan keterbatasan mereka untuk memberikan pendidikan pra sekolah pada anak-anak mereka.
TPA mungkin tidak sepopuler pendidikan pra sekolah lain yang kini tumbuh subur menjadi bisnis komersil dengan berbagai tawaran menggiurkan mulai dari yang sederhana kemampuan calistung, komputer hingga bahasa Inggris.
Namun sesungguhnya yang terpenting dan ingin dicapai dari tumbuhnya kesadaran orang tua untuk membawa anaknya mengikuti pendidikan pra sekolah, yakni anak memiliki kesempatan mengembangkan kemampuan di masa-masa yang disebut sebagai usia emas (golden age).
Kesadaran
Tempat Penitipan Anak selayaknya memang menjadi bagian dari perencanaan pengembangan pusat pelayanan publik, seperti pasar, perkantoran, pusat perbelanjaan, bahkan kini Depdiknas merintis penyelenggaraan TPA di rumah-rumah ibadah.
Ketua Himpunan Pendidik Pendidikan Anak Usia Dini (Himpaudi), Dr Damanhuri mengaku prihatin karena sebagian besar masyarakat Indonesia baik di kota besar maupun di pelosok daerah belum menyadari pentingnya pendidikan bagi anak usia dini.
Hal itu dibuktikan dengan rendahnya jumlah anak usia dini yang mendapat pelayanan pendidikan, terutama anak di bawah usia lima tahun.
"Tidak semua anak usia pra sekolah mendapat pendidikan yang layak di usianya karena berbagai faktor di antaranya menyangkut kondisi perekonomian yang lemah sehingga waktu orang tua lebih banyak tersita untuk mencari nafkah atau kesibukan bekerja pasangan suami istri. Ini membuat orang tua menganggap pendidikan pra sekolah tidak begitu penting," katanya.
Selain itu, menyangkut kualitas asuhan. Karena terimpit berbagai persoalan hidup, banyak ibu yang tidak memperhatikan pola pengasuhan ideal kepada anak-anaknya, misalnya, dalam pemberian buku-buku bacaan, katanya.
Ironisnya, rendahnya kesadaran untuk memasukan anak usia pra sekolah ke lembaga pendidikan anak usia dini justru terjadi pada pasangan bekerja di kota-kota yang umumnya berpendidikan cukup tinggi.
"Kalau mereka tidak mempercayakan pendidikan usia dini anak pada lembaga yang tersedia apakah TPA atau lainnya, maka orang tua itu wajib mengambil alih pendidikan pra sekolah di rumah atau dalam lingkungan keluarga," katanya.
Di negara-negara lain, PAUD menjadi bagian dari prioritas pemerintah sehingga implikasinya terhadap ketersediaan alokasi anggaran.
"Di Indonesia prioritas pendidikan dimulai dari pendidikan dasar sembilan tahun dan seterusnya, sementara pendidikan pra sekolah justru masih sekedar subtitusi," katanya.
Ironisnya, pemerintah sadar atau tidak justru di usia dini berbagai kemampuan anak mulai berkembang dan kalau "input-nya" tidak digarap secara baik, maka output-nya pun bisa dilihat kemudian," katanya.
Menurut data terbaru tentang jumlah anak usia dini di Indonesia pada tahun 2005 yang lalu lebih dari 100 juta jiwa. Tetapi yang dapat terlayani seperti pada Kelompok Bermain, Taman Bermain pemerintah maupun oleh masyarakat umum hanya sekitar 60 persen.
Pemerintah menargetkan tahun 2007 jumlah anak usia dini yang mendapat layanan PAUD usia 0-6 tahun sebanyak 28,4 juta orang dan usia 2-4 tahun sebanyak 12,1 juta anak.
Sedangkan untuk tahun 2008 ditargetkan jumlah anak yang mendapat layanan PAUD usia 0-6 tahun sebanyak 28,5 juta jiwa dan usia 2-4 tahun sebanyak 12,2 juta anak.
PAUD untuk Semua
Dari berbagai penelitian terbukti bahwa usia dini (0-6 tahun) merupakan periode atau masa keemasan (the golden age) yang sangat menentukan tahap perkembangan anak selanjutnya.
Disebutkan bahwa kecerdasan anak 50 persen dicapai pada usia 0-4 tahun, sebanyak 80 persen pada usia delapan tahun dan 100 persen pada usia 18 tahun.
Pada masa emas, seorang anak mampu menyerap ide dan ilmu/pelajaran jauh lebih kuat daripada orang dewasa, sehingga memberikan pendidikan kepada anak di usia tersebut sangat penting untuk tumbuh kembangnya.
Penelitian itu juga menyebutkan, kecepatan pertumbuhan otak anak sangat tinggi hingga mencapai 50 persen dari keseluruhan perkembangan otak anak selama hidupnya sehingga pada usia emas merupakan waktu yang sangat tepat untuk menggali segala potensi kecerdasan anak sebanyak-banyaknya.
Namun sayangnya, pemahaman masyarakat akan pentingnya pendidikan anak usia dini masih terbilang rendah.
Dirjen Pendidikan Luar Sekolah (PLS) Depdiknas, Ace Suryadi mengakui saat ini penyelenggaraan PAUD belum menjadi prioritas pemerintah sehingga penyelenggaran PAUD masih menjadi inisiatif swasta dan masyarakat .
"Karena belum menjadi prioritas, maka masih banyak anak usia dini yang berada di pedesaan serta mereka yang berasal dari keluarga miskin tidak memiliki kesempatan memperoleh pendidikan yang layak sebelum memasuki jenjang pendidikan dasar 9 tahun," katanya.
Karena itu, Depdiknas tengah merintis program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) berbasis keluarga atau home schooling PAUD untuk memperluas akses pendidikan pra sekolah bagi anak usia 0-6 tahun khususnya bagi kelompok tidak mampu sebelum memasuki pendidikan dasar.
"Konsep dasar dirintisnya PAUD berbasis keluarga adalah karena banyak orang tua yang belum memperoleh kesempatan untuk mengirimkan anaknya ke PAUD, seperti taman penitipan anak, Taman Kanak-kanak dan sejenisnya karena keterbatasan ekonomi," katanya.
Program ini akan membina orang tua dan keluarga untuk terlibat langsung mengembangkan fungsi jasmani dan rohani anak berkembang secara baik, " kata DR Ace Suryadi .
Ia mengatakan, program PAUD berbasis keluarga bertujuan untuk menanamkan konsep pendidikan bagi anak pra sekolah dengan cara-cara benar seperti tanpa kekerasan, tanpa ancaman, tanpa harus ditakut-takuti sehingga tanpa memandang status dan latar belakang keluarganya, maka anak-anak memiliki kesempatan untuk tumbuh kembang secara baik dan siap memasuki pendidikan lanjutan.
PAUD nonformal secara mandiri telah diselenggarakan oleh masyarakat. Bahkan bisa dikatakan 90 persen PAUD dalam bentuk taman penitipan anak /TPA, kelompok bermain diselenggarakan masyarakat baik dari kelompok agama, maupun organisasi perempuan , katanya.
"Untuk menjangkau masyarakat secara lebih luas, maka rintisan PAUD informal berbasis keluarga telah dirintis dengan membuat pedoman umum yang berisi prinsip-prinsip mendidik anak dengan baik dan benar bekerja sama dengan perguruan tinggi ," katanya.
Memasuki tahun ke 5 pencanangan PAUD belum terlihat hasil maksimal, karena di berbagai daerah masih jalan di tempat.
Banyaknya anak usia dini belum terlayani dengan baik. Hal ini memang merupakan satu tantangan besar bagi pemerintah, karena mereka merupakan aset yang bernilai tinggi bagi bangsa.(*)
sumber: http://www.antara.co.id/arc/2007/6/23/pendidikan-bagi-anak-usia-dini-bukan-sekedar-pilihan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar