Menurut data Sensus Nasional Biro Pusat Statistik tahun 2003, jumlah penyandang cacat di Indonesia sebesar 0,7 % dari jumlah penduduk 211.428.572 atau sebanyak 1.480.000 jiwa.
Dari jumlah tersebut 21,42 % diantaranya anak cacat usia sekolah (5-18 tahun) atau 317.016 anak. Dengan menggunakan data dasar tahun 2003, kemudian diproyeksikan secara proporsional, maka jumlah anak cacat usia sekolah pada tahun 2007 menjadi 321.000 anak.
Angka dimaksud tentunya cukup signifikan menjadi sasaran perluasan dan pemerataan pendidikan bagi anak berkelainan/cacat guna menyumbang APM SD/MI/Paket A yang saat ini telah mencapai 94,90 % dan APM SMP/MTs/Paket B mencapai 92,52% (sumber: naskah sambutan Mendiknas pada upacara bendera peringatan Harkitnas Mei 2008) menuju penuntasan wajib belajar tahun 2008.
Kebijakan pemerataan pendidikan bagi seluruh anak bangsa merupakan realisasi terhadap amanat UUD 1945 (amandemen) pasal 31 ayat (2) yang menyatakan bahwa ”setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar, dan pemerintah wajib membiayainya”.
Kemudian ditindaklajuti dengan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 5 ayat (2) bahwa ”warga negara yang berkelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”, dan pasal 7 ayat (2) bahwa ”Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya”.
Atas dasar ketentuan di atas, maka dalam rangka menyukseskan program wajib belajar dan merealisasikan hak azasi manusia, layanan pendidikan bagi anak berkelainan/cacat perlu ditingkatkan. Kebijakan pemerintah dalam penuntasan Wajib Belajar juga disemangati oleh seruan international Education Far All (EFA) dan dikumandangkan oleh UNESCO, sebagai kesepakatan global hasil World Education Forum di DAKAR, Senegal tahun 2000.
Oleh karena itu pemerintah memberi peluang kepada anak berkelainan/cacat melalui pendidikan secara segregasi di SDLB, SMPLB, SMALB dan melakukan terobosan dengan memberi kesempatan memperoleh pendidikan di sekolah reguler (SD/MI,SMP/MTs/SMA/MA dan SMK/MAK) yang disebut "Pendidikan Inklusif (inclusive education)”.
Namun di luar dugaan keberadaan anak cacat tersebut masih harus terus dicari di bumi pertiwi ini. Menurut Statistik Sekolah Luar Biasa tahun 2006/2007 jumlah peserta didik penyandang cacat yang telah mengenyam pendidikan baru mencapai 87.801 anak (27,35%), dimana 72.620 anak mengikuti pendidikan segregasi di SDLB, SMPLB, SMALB atau SLB dan 15.181 anak cacat lainnya mengikuti pendidikan inklusif (sumber data: Direktorat PSLB).
Dengan demikian masih terdapat 233.199 (72,65%) anak cacat yang tinggal di desa, kecamatan dan kabupaten/kota belum mengenyam pendidikan. Oleh karena itu upaya pemerataan pendidikan itu menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat.
Banyak penyebab mengapa jumlah anak cacat yang belum tersentuh pendidikan masih tinggi, antara lain:
1. Orang tua cenderung menyem-bunyikan keberadaan anaknya yang cacat di rumah, sehingga tidak mempedulikan lagi pendidikan anaknya. Hal ini dilakukan karena keluarganya malu jika terbuka aibnya, kendati mampu membiayai sekolah. Perilaku tersebut tentunya bertentangan dengan UUD 1945 (amande-men) pasal 31 ayat (1),(2) dan UU Sisdiknas pasal 5 ayat (1), (2), pasal 7 ayat (2), pasa 32 ayat (1).
2. Orang tua masih menerapkan paradigma lama bahwa menyekolahkan anak cacat kurang menguntungkan dipandang dari aspek ekonomi. Pada hal pendidikan merupakan investasi untuk masa depan anak, melalui proses pengajaran, penyebarluasan dan penerapan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olah raga, serta penanaman nilai-nilai luhur untuk meningkatkan taraf hidupnya.
3. Kondisi ekonomi orang tuanya memang benar-benar miskin, sehingga tidak mampu lagi membiayai sekolah anaknya. Akibatnya keluarga mengambil keputusan hanya memprioritaskan untuk membiayai kelangsungan hidupnya. Hal ini dapat dimaklumi mengingat keberadaan anak cacat tersebar di desa dan kecamatan yang kemungkinan termasuk kategori daerah miskin yang dapat memicu bertambahnya penderita gizi buruk, yang disinyalir sebagai salah satu penyebab kecacatan anak dalam kandungan ibunya. Berdasarkan data BPS tahun 2005 jumlah penduduk penderita gizi buruk mencapai 4,42 juta jiwa.
4. Belum tersedianya SLB di seluruh kabupaten/kota di Indonesia, di sisi lain anak cacat tertentu memerlukan pendampingan orang tuanya ke sekolah. Hal ini menimbulkan problema baru yakni biaya transportasi menuju sekolah sangat tinggi yang memberatkan beban orang tuanya.
5. Keberadaan anak cacat belum dapat diterima sepenuhnya belajar bersama dengan anak biasa, karena anak biasa takut tertular perilaku atau terganggu oleh faktor higiennitas kehidupan seharĂ-hari di kelas maupun dalam bermain.
6. Upaya pemenuhan hak azasi anak cacat untuk mengenyam pendidikan oleh berbagai pihak belum dilakukan secara maksimal, termasuk belum optimalnya sosialisasi pentingnya pendidikan bagi anak berkelainan di seluruh pelosok desa dan kecamatan di Tanah Air.
7. Biaya satuan pendidikan bagi siswa anak berkelainan/cacat relatif lebih tinggi dibanding dengan biaya satuan pendidikan untuk siswa biasa. Menurut hasil riset hal tersebut karena disamping anak cacat perlu fasilitas pendidikan pada umumnya, masih memerlukan pula alat pendidikan khusus, alat bantu khusus dan lainnya.
Beberapa permasa-lahan di atas secara bertahap dan berkelanjutan sebenarnya telah, sedang dan akan terus dicari dan diberikan solusinya. Pemerintah dalam hal ini Direktorat PSLB, Ditjen Manajemen Dikdasmen telah menyiapkan berbagai kebijakan dan/atau program, antara lain :
Pertama, penjaringan data anak cacat yang melibatkan berbagai unsur, antara lain: Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota/ Provinsi, Peme-rintah Daerah Kabupaten/ Kota/ Provinsi, BPS Kabupaten/ Kota/ Provinsi, Kantor Wilayah Departemen Sosial, Kantor Wilayah Departemen Agama, Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Provinsi, Forum Komunikasi dan Asosiasi Peduli PLB serta LSM lainnya.
Kedua, pengembangan Sistem Informasi Manajemen Direktorat PSLB yang memiliki jaringan kerja dengan Sentra Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus di seluruh provinsi. Melalui SIM ini diharapkan masing-masing dapat mengakses data dan informasi PLB secara timbal balik untuk kepentingan pembinaan sekolah sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
Ketiga, pembangunan unit sekolah baru (USB) di kabupaten-kabupaten yang belum tersedia faslitas SLB, utamanya kabupaten yang telah menyiapkan lahan kosong yang memadai. Hal ini dipastikan dapat menampung anak cacat di desa dan kecamatan pada kabupaten yang bersangkutan. Jumlah SLB pada tahun 2006/2007 mencapai 1.569 sekolah, dimana 80,75% diantaranya SLB swasta (sumber data: Direktorat PSLB).
Keempat, memperluas implementasi program penyelenggaraan pendidikan inklusif (inclusive education), sehingga anak cacat yang tinggal di desa,kecamatan, kabupaten/kota memiliki peluang atas haknya untuk belajar bersama dengan siswa lain di sekolah reguler terdekat. Jumlah sekolah penyelenggara pendidikan inklusif di Negeri ini pada tahun 2006/2007 mencapai 814 sekolah (TK,SD, SMP,SMA,SMK) yang berhasil menampung 15.181 anak cacat (sumber data: Direktorat PSLB).
Kelima, mensosialisasikan pentingnya pendidikan segregasi dan pendidikan Inklusif kepada masyarakat pengguna jasa pendidikan, yang diharapkan dapat mengubah paradigma orang tua untuk segera memberikan peluang pemenuhan dan penyamaan hak azasi anak cacat mengenyam pendidikan, sehingga anak cacat dapat mengaktualisasikan potensi kecerdasan dan bakatnya demi masa depan.
Keenam, pembangunan ruang kelas baru (RKB), pembangunan aksessibilitas anak cacat menuju sekolah inklusif dan sekolah segregasi, subsidi beasiswa cacat yang miskin, biaya operasional sekolah (BOS), melengkapi alat pendidikan khusus, alat bantu khusus, menyediakan ruang sumber, bengkel, alat keterampilan, alat olah raga, perpustakaan, mengalokasikan dana riset terkait dengan penelitian PLB dan lainnya.
Ketujuh, bekerjasama dengan Ditjen PMPTK membahas, mengusulkan untuk menyiapkan tenaga pendidik sebagai guru khusus di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dan sekolah segregasi. Guru khusus sangat berperan untuk mengajar, membimbing, menilai dan mengevaluasi kegiatan belajar di sekolah, sehingga kemandirian sekolah dapat dijamin. Jumlah kepala sekolah dan guru di SLB sampai dengan tahun 2006/2007 mencapai 16.961 orang (data: Direktorat PSLB)
sumber : http://mandikdasmen.aptisi3.org/
Dari jumlah tersebut 21,42 % diantaranya anak cacat usia sekolah (5-18 tahun) atau 317.016 anak. Dengan menggunakan data dasar tahun 2003, kemudian diproyeksikan secara proporsional, maka jumlah anak cacat usia sekolah pada tahun 2007 menjadi 321.000 anak.
Angka dimaksud tentunya cukup signifikan menjadi sasaran perluasan dan pemerataan pendidikan bagi anak berkelainan/cacat guna menyumbang APM SD/MI/Paket A yang saat ini telah mencapai 94,90 % dan APM SMP/MTs/Paket B mencapai 92,52% (sumber: naskah sambutan Mendiknas pada upacara bendera peringatan Harkitnas Mei 2008) menuju penuntasan wajib belajar tahun 2008.
Kebijakan pemerataan pendidikan bagi seluruh anak bangsa merupakan realisasi terhadap amanat UUD 1945 (amandemen) pasal 31 ayat (2) yang menyatakan bahwa ”setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar, dan pemerintah wajib membiayainya”.
Kemudian ditindaklajuti dengan UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 5 ayat (2) bahwa ”warga negara yang berkelainan fisik, emosional, mental, intelektual dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”, dan pasal 7 ayat (2) bahwa ”Orang tua dari anak usia wajib belajar, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya”.
Atas dasar ketentuan di atas, maka dalam rangka menyukseskan program wajib belajar dan merealisasikan hak azasi manusia, layanan pendidikan bagi anak berkelainan/cacat perlu ditingkatkan. Kebijakan pemerintah dalam penuntasan Wajib Belajar juga disemangati oleh seruan international Education Far All (EFA) dan dikumandangkan oleh UNESCO, sebagai kesepakatan global hasil World Education Forum di DAKAR, Senegal tahun 2000.
Oleh karena itu pemerintah memberi peluang kepada anak berkelainan/cacat melalui pendidikan secara segregasi di SDLB, SMPLB, SMALB dan melakukan terobosan dengan memberi kesempatan memperoleh pendidikan di sekolah reguler (SD/MI,SMP/MTs/SMA/MA dan SMK/MAK) yang disebut "Pendidikan Inklusif (inclusive education)”.
Namun di luar dugaan keberadaan anak cacat tersebut masih harus terus dicari di bumi pertiwi ini. Menurut Statistik Sekolah Luar Biasa tahun 2006/2007 jumlah peserta didik penyandang cacat yang telah mengenyam pendidikan baru mencapai 87.801 anak (27,35%), dimana 72.620 anak mengikuti pendidikan segregasi di SDLB, SMPLB, SMALB atau SLB dan 15.181 anak cacat lainnya mengikuti pendidikan inklusif (sumber data: Direktorat PSLB).
Dengan demikian masih terdapat 233.199 (72,65%) anak cacat yang tinggal di desa, kecamatan dan kabupaten/kota belum mengenyam pendidikan. Oleh karena itu upaya pemerataan pendidikan itu menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, swasta, dan masyarakat.
Banyak penyebab mengapa jumlah anak cacat yang belum tersentuh pendidikan masih tinggi, antara lain:
1. Orang tua cenderung menyem-bunyikan keberadaan anaknya yang cacat di rumah, sehingga tidak mempedulikan lagi pendidikan anaknya. Hal ini dilakukan karena keluarganya malu jika terbuka aibnya, kendati mampu membiayai sekolah. Perilaku tersebut tentunya bertentangan dengan UUD 1945 (amande-men) pasal 31 ayat (1),(2) dan UU Sisdiknas pasal 5 ayat (1), (2), pasal 7 ayat (2), pasa 32 ayat (1).
2. Orang tua masih menerapkan paradigma lama bahwa menyekolahkan anak cacat kurang menguntungkan dipandang dari aspek ekonomi. Pada hal pendidikan merupakan investasi untuk masa depan anak, melalui proses pengajaran, penyebarluasan dan penerapan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olah raga, serta penanaman nilai-nilai luhur untuk meningkatkan taraf hidupnya.
3. Kondisi ekonomi orang tuanya memang benar-benar miskin, sehingga tidak mampu lagi membiayai sekolah anaknya. Akibatnya keluarga mengambil keputusan hanya memprioritaskan untuk membiayai kelangsungan hidupnya. Hal ini dapat dimaklumi mengingat keberadaan anak cacat tersebar di desa dan kecamatan yang kemungkinan termasuk kategori daerah miskin yang dapat memicu bertambahnya penderita gizi buruk, yang disinyalir sebagai salah satu penyebab kecacatan anak dalam kandungan ibunya. Berdasarkan data BPS tahun 2005 jumlah penduduk penderita gizi buruk mencapai 4,42 juta jiwa.
4. Belum tersedianya SLB di seluruh kabupaten/kota di Indonesia, di sisi lain anak cacat tertentu memerlukan pendampingan orang tuanya ke sekolah. Hal ini menimbulkan problema baru yakni biaya transportasi menuju sekolah sangat tinggi yang memberatkan beban orang tuanya.
5. Keberadaan anak cacat belum dapat diterima sepenuhnya belajar bersama dengan anak biasa, karena anak biasa takut tertular perilaku atau terganggu oleh faktor higiennitas kehidupan seharĂ-hari di kelas maupun dalam bermain.
6. Upaya pemenuhan hak azasi anak cacat untuk mengenyam pendidikan oleh berbagai pihak belum dilakukan secara maksimal, termasuk belum optimalnya sosialisasi pentingnya pendidikan bagi anak berkelainan di seluruh pelosok desa dan kecamatan di Tanah Air.
7. Biaya satuan pendidikan bagi siswa anak berkelainan/cacat relatif lebih tinggi dibanding dengan biaya satuan pendidikan untuk siswa biasa. Menurut hasil riset hal tersebut karena disamping anak cacat perlu fasilitas pendidikan pada umumnya, masih memerlukan pula alat pendidikan khusus, alat bantu khusus dan lainnya.
Beberapa permasa-lahan di atas secara bertahap dan berkelanjutan sebenarnya telah, sedang dan akan terus dicari dan diberikan solusinya. Pemerintah dalam hal ini Direktorat PSLB, Ditjen Manajemen Dikdasmen telah menyiapkan berbagai kebijakan dan/atau program, antara lain :
Pertama, penjaringan data anak cacat yang melibatkan berbagai unsur, antara lain: Dinas Pendidikan Kabupaten/ Kota/ Provinsi, Peme-rintah Daerah Kabupaten/ Kota/ Provinsi, BPS Kabupaten/ Kota/ Provinsi, Kantor Wilayah Departemen Sosial, Kantor Wilayah Departemen Agama, Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Provinsi, Forum Komunikasi dan Asosiasi Peduli PLB serta LSM lainnya.
Kedua, pengembangan Sistem Informasi Manajemen Direktorat PSLB yang memiliki jaringan kerja dengan Sentra Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus di seluruh provinsi. Melalui SIM ini diharapkan masing-masing dapat mengakses data dan informasi PLB secara timbal balik untuk kepentingan pembinaan sekolah sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
Ketiga, pembangunan unit sekolah baru (USB) di kabupaten-kabupaten yang belum tersedia faslitas SLB, utamanya kabupaten yang telah menyiapkan lahan kosong yang memadai. Hal ini dipastikan dapat menampung anak cacat di desa dan kecamatan pada kabupaten yang bersangkutan. Jumlah SLB pada tahun 2006/2007 mencapai 1.569 sekolah, dimana 80,75% diantaranya SLB swasta (sumber data: Direktorat PSLB).
Keempat, memperluas implementasi program penyelenggaraan pendidikan inklusif (inclusive education), sehingga anak cacat yang tinggal di desa,kecamatan, kabupaten/kota memiliki peluang atas haknya untuk belajar bersama dengan siswa lain di sekolah reguler terdekat. Jumlah sekolah penyelenggara pendidikan inklusif di Negeri ini pada tahun 2006/2007 mencapai 814 sekolah (TK,SD, SMP,SMA,SMK) yang berhasil menampung 15.181 anak cacat (sumber data: Direktorat PSLB).
Kelima, mensosialisasikan pentingnya pendidikan segregasi dan pendidikan Inklusif kepada masyarakat pengguna jasa pendidikan, yang diharapkan dapat mengubah paradigma orang tua untuk segera memberikan peluang pemenuhan dan penyamaan hak azasi anak cacat mengenyam pendidikan, sehingga anak cacat dapat mengaktualisasikan potensi kecerdasan dan bakatnya demi masa depan.
Keenam, pembangunan ruang kelas baru (RKB), pembangunan aksessibilitas anak cacat menuju sekolah inklusif dan sekolah segregasi, subsidi beasiswa cacat yang miskin, biaya operasional sekolah (BOS), melengkapi alat pendidikan khusus, alat bantu khusus, menyediakan ruang sumber, bengkel, alat keterampilan, alat olah raga, perpustakaan, mengalokasikan dana riset terkait dengan penelitian PLB dan lainnya.
Ketujuh, bekerjasama dengan Ditjen PMPTK membahas, mengusulkan untuk menyiapkan tenaga pendidik sebagai guru khusus di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif dan sekolah segregasi. Guru khusus sangat berperan untuk mengajar, membimbing, menilai dan mengevaluasi kegiatan belajar di sekolah, sehingga kemandirian sekolah dapat dijamin. Jumlah kepala sekolah dan guru di SLB sampai dengan tahun 2006/2007 mencapai 16.961 orang (data: Direktorat PSLB)
sumber : http://mandikdasmen.aptisi3.org/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar