Bangsa Indonesia mengalami tiga kali peristiwa bencana yang mengakibatkan
jatuh korban jiwa dan harta benda dalam jumlah besar yakni gempa bumi dan
tsunami di kawasan Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Kepulauan Nias Sumatra
Utara, gempa bumi di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah, serta
gempa bumi dan tsunami di daerah Pantai Laut Selatan.
Adapun yang patut dicermati dari ketiga peristiwa tersebut, ternyata antusias
masyarakat -- pada masa pascatanggap darurat-- terhadap para korban bencana di
lokasi pengungsian acap kali tidak optimal. Sebagian masyarakat cenderung
menggebu-gebu gairahnya untuk memberikan bantuan berupa dana dan barang hanya
pada masa tanggap darurat.
Selanjutnya, masyarakat terkesan kurang antusias memberikan bantuan tingkat
lanjut bagi para pengungsi. Bahkan tak jarang, ada sejumlah oknum masyarakat
yang datang ke lokasi pengungsian berperan mirip "penonton", dan menjadikan
para pengungsi "seolah-olah" merupakan objek foto dan gambar yang layak
diabadikan dengan menggunakan kamera foto maupun handycam.
Alhasil, para pengungsi yang "kehausan" ilmu pengetahuan dan "kelaparan" materi
pendidikan itu dibiarkan begitu saja. Demikian halnya, teriakan-teriakan para
relawan tenaga pendidik maupun tenaga kependidikan nonformal misalnya,
seolah-olah tak didengarnya.
Problem di lokasi pengungsian ini, ironisnya --berdasarkan pengamatan penulis
di tiga lokasi bencana yakni kawasan NAD, DIY dan Jateng, serta Pangandaran
Ciamis-- hingga sekarang belum ada solusinya yang kualitatif dan terpadu.
Keterbatasan dana, waktu, dan tenaga pendidik maupun tenaga kependidikan-- yang
diperankan para relawan serta instansi Tenaga Pendidik dan
Kependidikan-Pendidikan Non Formal (PNF) Depdiknas-- tampaknya kurang
diperhatikan oleh sebagian anggota masyarakat yang tidak mengalami musibah
bencana serta instansi terkait lainnya.
Di antara anggota masyarakat ada yang kurang tanggap terhadap perlunya kegiatan
pendidikan nonformal di lokasi pengungsian pada pascatanggap darurat. Ya,
termasuk tentang upaya menyediakan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan bagi
aktivitas pendidikan nonformal.
Fenomena krisis pendidikan di lokasi pengungsian ini, tentu turut mewarnai
dunia pendidikan nasional yang sedang "terpuruk" kualitasnya sebagaimana
diungkap Wapres Jusuf Kalla.
Di depan peserta Rakornas Revitalisasi Pendidikan di Kantor Wapres, Jakarta,
Selasa (8/8), Jusuf Kalla mengatakan, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
terancam akan terpecah di masa mendatang bilamana kualitas sumber daya manusia
berbeda-beda karena perbedaan kualitas pendidikan.
Pernyataan Jusuf Kalla ini tentu penting, mengingat sebagian besar SDM
Indonesia sekarang berada di lokasi pengungsian akibat bencana. Masa depan
mereka, jelas berkaitan erat dengan kualitas pendidikannya, baik formal maupun
nonformal.
Potret krisis pendidikan nonformal di lokasi pengungsian tersebut, setidaknya
tercermin dari realita tertatih-tatihnya para sukarelawan lembaga-lembaga
sosial kemanusiaan tatkala berkiprah di lokasi bencana di NAD, DIY, dan Jateng,
serta kawasan Pangandaran Ciamis.
Para sukarelawan mengalami kesulitan mewujudkan program pendidikan nonformalnya
secara sempurna, mengingat tingkat kesadaran masyarakat --korban bencana maupun
yang tidak terkena bencana-- tentang pentingnya pendidikan nonformal cenderung
minim.
Dalam konteks ini, pimpinan Gema Nusa, K.H. Abdullah Gymnastiar (Aa Gym)
berpandangan, idealnya program pendidikan nonformal bagi para pengungsi korban
bencana seperti di NAD dilakukan secara sempurna. Misalnya, melibatkan
sebanyak-banyaknya potensi generasi muda setempat dan dilakukan secara kontinu,
serta memperoleh dukungan optimal dari berbagai pihak terkait. Bentuk
kegiatannya bisa berupa program pendidikan nonformal dan keterampilan yang
lebih beragam jenisnya.
Selain itu, diupayakan pula program kerja sama antara lembaga-lembaga
sosial-kemanusiaan dengan instansi terkait antara lain Depdiknas, terutama yang
benar-benar eksis dan memiliki perangkat aksi yang kualitatif di lokasi
pengungsian.
Di sisi lain, perlu ada kesadaran kemanusiaan dan keikhlasan di kalangan para
alumni perguruan tinggi untuk mengamalkan ilmunya mendidik masyarakat di lokasi
pengungsian. Ya, sangat dibutuhkan kehadiran dan peran optimal para tenaga
pendidik dan tenaga kependidikan nonformal.
Betapa tidak, di lokasi pengungsian sangat diperlukan antara lain adanya tenaga
PAUD (pendidikan bagi anak usia dini), fasilitator desa binaan intensif (FDI),
instruktur kursus keterampilan, tenaga administrasi pendidikan, pustakawan,
narasumber teknis, dan tenaga lapangan dikmas di tingkat kecamatan.
Sungguh, untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan pendidikan nonformal di lokasi
pengungsian korban bencana alam, maka diperlukan ketersediaan pendidik dan
tenaga kependidikan yang andal.
Secara institusional, tentunya Direktorat Pendidikan dan Tenaga Kependidikan
Pendidikan Non Formal Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga
Kependidikan Depdiknas memiliki tugas dan kewenangan memenuhi kebutuhan mutu
pendidik dan tenaga kependidikan pendidikan nonformal di lokasi pengungsian.
Direktorat Depdiknas tersebut, perlu menstimulus para sarjana untuk bersedia
amal saleh di daerah-daerah. Bahkan patut pula menstimulus Pemprov Jabar agar
bersedia menjadikan lokasi-lokasi bekas bencana alam sebagai tempat pelaksanaan
kuliah kerja nyata (KKN) para mahasiswa. Dengan upaya ini, mudah-mudahan
terwujudlah cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana termaktub dalam UU No. 20
tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.***
Penulis, wartawan Pikiran Rakyat Bandung
sumber: http://www.freelists.org/post/ppi/ppiindia-Krisis-Pendidikan-Nonformal-di-Pengungsian
Jumat, 15 Mei 2009
Krisis Pendidikan Nonformal di Pengungsian Oleh ACHMAD SETIYAJI
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar