UU Sisdiknas diatas telah mengandung aspek-aspek penting yang harus di perhatikan dalam pendidikan yaitu aspek cognitive, affective dan psychomotor. Dengan kata lain program pendidikan tidak hanya menekankan pada aspek pengetahuan (cognitive) tetapi juga menekankan pada pembinaan sikap dan pengembangan keterampilan peserta didik. Oleh karena itu perguruan tinggi hendaknya menjadi institusi yang tidak hanya didominasi oleh nuansa pendidikan dan penelitian tapi juga seharusnya menjadi lembaga yang dapat membina sikap terpuji civitas akademiknya yaitu sikap menghindari tindakan kekerasan (violence) seperti aksi pemukulan atau penganiayaan dan tindakan ketidak jujuran akademis (academic dishonesty) seperti kasus penjiplakan (plagiarism), perjokian, dan cheating (nyontek).
Secara umum pendidikan tinggi terdiri dari dua jalur yaitu jalur akademik dan jalur kejuruan (vokasi). Jalur akademik adalah universitas, institute dan sekolah tinggi yang menawarkan stratafikasi gelar akademik dan spesialis (higher degrees and specialist) dan mencakup program pendidikan S1 (gelar sarjana), S2 (gelar Magister), Spesialis dan S3 (gelar Doktor). Sedangkan Jalur kejuruan atau vokasi, umumnya menawarkan pendidikan kejuruan (vocational education) setingkat program diploma (ahli Madya). Pendidikan ini umumnya diselenggarakan oleh semua akademi yang ada di Indonesia minus akademi fantasi.
Pendidikan tinggi (higher education) melayani jasa pendidikan tinggi termasuk pemberian pelayanan ilmu Basic Sciences (MIPA), Sciences (Ilmu-ilmu eksakta), Social Sciences and Humanities (Ilmu Social dan Humaniora). Pendidikan tinggi berhak menganugrahkan gelar akademik kepada alumninya yang telah memenuhi syarat-sayarat akademis sesuai dengan UU Sisdiknas. Tulisan ini akan membahas beberapa isu penting sekitar pendidikan tinggi dan tinjaun mengenai kebijakan pendidikan tinggi.
Profil Singkat Pendidikan Tinggi
Teasdale (1999) dalam bukunya berjudul "Local Knowledge and Wisdom in Higher Education" menyinggung sejarah kejayaan pusat pendidikan dunia pada abad ke-16. Dikatakan bahwa pusat kejayaan pendidikan tinggi dunia pernah terdapat di kota-kota besar dunia pada waktu itu seperti Bagdad, Istanbul, Cordoba dan Kairo. Pada saat itu tidak sedikit bangsa barat dari Eropa yang datang ke kota-kota tersebut untuk belajar ilmu pengetahuan dan teknologi dengan cara barter yaitu menukar hasil pertanian mereka dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pada abad millinium ini pusat kejayaan pendidikan dunia telah berada pada negara-negara berkembang (developed countries) seperti Jepang, Korea Selatan, Singapura, Malaysia, Canada, US, Uni Eropa, Australia dan New Zealand. Realita ini diindikasikan dengan banyaknya hasil-hasil penelitian ilmiah (scientific findings) dalam bidang ilmu pengetahuan dan technology (science dan technology) yang telah dipublikasikan di berbagai media, website inernet dan beberapa jurnal ilmiah yang bereputasi dan terakreditasi secara internasional oleh perguruan-perguraun tinggi di negara tersebut. Lagi pula, negara-negara tersebut diatas maju dalam membangun bangsanya karena mereka berpegang pada paradigma "build nation build schools" yang mengandung pengertian kontekstual yaitu "memajukan bangsa melalui pendidikan".
Telah tercatat pula dalam sejarah bahwa pada beberapa dekade yang lalu pendidikan tinggi di Indonesia pernah menjadi kiblat bagi mahasiswa dari negeri jiran seperti Malaysia dan Singapura yang ingin melanjutkan pendidikan tinggi di Indonesia. Banyak mahasiswa asal negeri jiran tersebut yang belajar di beberapa perguruan tinggi ternama di Indonesia. Namun sayangnya, menurut informasi dari beberapa sumber yang dapat dipercaya melansir bahwa dewasa ini ada lebih banyak jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar di Malaysia dan Singapura dibandingkan dengan jumlah mahasiswa Malaysia dan Singapura yang belajar di Indonesia.
Sama seperti pendidikan dasar dan menengah, pendidikan tinggi di Indonesia mengalami pasang surut. Ada beberapa isu dan polemik seputar perkembangan perguruan tinggi di Indonesia yang pernah diberitakan oleh media lokal dan internasiona seperti isu, kualitas pendidikan tinggi, isu universitas perintis, polemik teaching university vs research university, konversi IKIP menjadi universitas dan isu otonomi perguruan tinggi yang ditandai dengan diberinya status perguruan tinggi berbadan hukum (PTBH) bagi UI,ITB,UGM dan IPB sebagai implementasi PP Nomor 61 tahun 1999 (Kompas,20/02/04).
Keritikan dan Saran
Pendidikan tinggi di Indonesia telah memberikan kontribusi yang cukup significant terhadap pembangunan di Indonesia. Beberapa politisi dan negarawan besar seperti presiden RI pertama (the founding father), sejumlah pejabat negara, pengusaha dan ilmuawan ternama telah dihasilkan oleh perguruan tinggi di Indonesia. Universitas ternama (leading universities) di pulau Jawa seperti UI, ITB, IPB, UGM, Unpadj,Unair, Undip serta diluar pulau jawa seperti USU, Unand, Unud, Unhas Unstrat, Unhalu, Untad, Unmul dan beberapa perguruan tinggi negeri lainya termasuk Univ negeri (eks IKIP) dan Univ Islam Negeri (eks IAIN) dan beberapa perguruan tinggi negeri lainnya merupakan perguruan tinggi yang telah aktif berpartisipasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui kegiatan Tri Darma Perguruan Tinggi (pengajaran, penelitian dan pengabdian pada masyarakat). Hasil-hasil penelitian staf akademiknya telah dipublikasikan liwat jurnal ilmiah dan diseminasikan liwat seminar,loka karya dan publikasi media.
Perkembangan pendidikan tinggi di Indonesia ternyata juga banyak didukung oleh partisipasi aktif perguruan tinggi swasta yang jumlahnya jauh lebih banyak dari jumlah perguruan tinggi negeri. Ada banyak perguruan tinggi swasta yang memiliki reputasi atau status akreditasi dari Badan Akreditasi Nasional (BAN) yang sama atau hampir sama dengan perguruan tinggi negeri. Bahkan sebahagian perguruan tingi swasta telah memiliki jurnal ilmiah yang telah terkreditasi. Beberapa perguruan tinggi swasta yang cukup dikenal baik ditingkat lokal maupun tingkat nasional misalnya untuk di pulau Jawa ada Univ Trisakti, Universitas Brobudur, Univ Guna Darma, Unika Atma Jaya, Unas, Unpar Bandung ,UII Jokyakarta, Unmuh Malang, Ubaya. Sedangkan di luar pulau Jawa terdapat beberapa PTS yang dapat diperhitungkan dan sebahagian juga telah memiliki jurnal ilmiah. Perguruan tinggi swasta tersebut antara lain seperti Univ Nomensen Medan, Univ Bung Hatta Padang, UMI Makassar, Univ 45, Univ Klabad Manado, STIE/STISIPOL Panca Bakti Palu, Unisa Palu dan Unismuh Palu.
Lepas dari banyaknya kelebihan pendidikan tinggi di Indonesia, terdapat juga beberapa kekurangan yang perlu dibenahi. Hal ini mungkin disebabkan oleh kebijakan pendidikan tinggi yang kurang efektif dan sangat senralistik. Adapun kekurangan yang mungkin perlu diperhatikan dan dibenahi secara umum adalah:
Pertama,pelayanan jasa pendidikan tinggi baru dinikmati oleh mayoritas kalangan keluarga kelas menengah ke atas atau hanya segelintir kalangan kelas menegah ke bawah yang dapat menikmati jasa pendidikan tinggi. Idealnya, pelayanan jasa pendidikan tinggi tidak menciptakan dikotomi dan disparitas terutama berakaitan dengan akses rekrutmen mahasiswa baru. Pejabat perguruan tinggi harus dapat memfasilitasi mahasiswa yang kurang mampu tapi berprestasi untuk memperoleh susbsidi atau beasiswa yang dapat menunjang studi mahasiswa dari kalangan ekonomi lemah tersebut.
Kedua, kurikulum pendidikan tinggi terlalu padat dengan bobot kredit yang kecil (antara 2 sampai 4 sks permata kuliah). Lagi pula, penelitian yang memakan waktu satu sampai dua semester ironisnya hanya dinilai dengan bobot sks yang sangat kecil (sekitar 4 sampai 6 sks) jika dibandingkan bobot sks penelitian mahasiswa di luar negeri. Di negara maju mahasiswa belajar sedikit mata kuliah tapi mendalam (in-depth).
Ketiga, kebijakan pendidikan tinggi yang kaku yaitu pendidikan tinggi hanya menawarkan program full-time students dengan bobot mata kuliah yang padat SKS. Pendidikan tinggi seperti ini sangat membebani mahasiswa terutama yang sudah bekerja karena mereka terbebani oleh bobot SKS yang padat (overloading) ditambah dengan tugas-tugas pokok mereka di instansi pemerintah atau swasta. Seharusnya ada alternatif untuk menawarkan program part-time students yang dapat meringankan beban mahasiswa yang sudah bekerja walaupun program pendidikannya relatif lebih lama tapi pasti.
Keempat, kebanyakan perguruan tinggi hanya menawarkan on-campus program dan belum menawarkan off-campus progam. Akibatnya, banyak mahasiswa yang kebenaran harus pindah ke kota lain oleh karena tuntutan ekonomi atau tugas kantor terpaksa harus bolos atau berhenti kuliah. Padahal program off-campus (distant learning) mungkin dapat menjadi solusi seperti yang ditawarkan oleh Universitas Terbuka.
Kelima, stratafikasi pendidikan tinggi belum banyak menghargai prestasi akademik yang gemilang, misalnya untuk melanjutkan pendidikan S3 seorang mahasiswa harus menyelesaikan pendidikan S2 dulu walaupun mahasiswa yang bersangkutan mendapat nilai Cum-laude. Dengan kata lain pendidikan tinggi kita belum menawarkan program honours seperti kebanyakan perguruan tinggi di luar negeri, yaitu bagi mahasiswa S1 yang mendapat nilai Cum-laude bisa langsung mengambil program S3 (leading to PhD) tanpa melalui pendidikan Magister (S2).
Keenam, Program akademik di perguruan tinggi tidak fleksibel karena hanya menawarkan program kuliah dan penelitian (combined course work dan research), idealnya perguruan tinggi juga menawarkan beberapa pilihan program pendidikan misalnya, program research student (mahasiswa peneliti melalui bimbingan), Combined course work (seperti di Indonesia) dan pure course work (jalur mata kuliah tanpa penelitian) yang mungkin cocok untuk praktisi atau pekerja profesional. Melalui program seperti ini mahasiswa diberi kebebasan untuk memilih salah satu jenis jalur pendidikan tinggi yang diinginkan sesuai dengan minat dan kemampuannya. Program seperti ini sebenarnya sangat fleksibel dan mungkin sangat menguntungkan mahasiswa.
Selanjutnya, untuk program combined course work atau kuliah dan setelah itu diikuti dengan tugas akhir kegiatan penelitian, misalnya seperti versi di Indonesia. Program ini sebaiknya direvisi menjadi program yang lebih fleksibel yaitu mahasiswa ditawarkan salah satu dari beberapa alternative program pendidikan tinggi, pertama " program yang bobot sks mata kuliah lebih banyak misalnya 80 % dan bobot penelitian lebih kecil atau sekitar 20 % atau sebaliknya mata kuliah 20 % dan bobot penelitian 80 % dan atau fifty-fity yaitu 50 % bobot mata kuliah dan 50% penelitian.
Kemudian, untuk evaluasi program pendidikan seharus bersifat fair dan tidak diskriminatif. Selama ini evaluasi dan assessment pendidikan baru diterapkan secara sepihak. Dengan kata lain, setiap semester hanya mahasiswa yang dievaluasi hasil belajarnya misalnya, melalui mid-semester dan final semester. Seharusnya perguruan tinggi juga melakukan evaluasi kinerja staf dosen (academic performance) misalnya melalui penyebaran angket kepada mahasiswa setiap akhir semester. Angket tersebut harus diisi oleh mahasiswa dengn tujuan untuk memberikan umpan balik atau penilaian mengenai kemampuan mengajar dosen yang bersangkutan.
Di samping itu, perguruan tinggi haruslah merancang program orientasi mahasiswa baru yang menekankan pada program orientasi yang bersifat informative dan edukatif karena beberapa waktu yang lalu program orientasi mahasiswa banyak diwarnai oleh kegiatn perpeloncoan yang bersifat kurang mendidik dan mungkin membuka peluang terjadinya tindakan kekerasan dan aksi balas dendam sesama mahasiswa yang berbeda angkatan. Saya kira kini sudah saatnya perguruan tinggi merubah paradigma program orientasi mahasiswa baru, yaitu pertama materi program orientasi mahasiswa baru harus bersifat informatif yakni pemberian informasi yang cukup komprehensif dan lugas mengenai fasilitas pembelajaran yang tersedia dan cara pemamfaatannya serta beberapa informasi penting dan relevan mengenai statuta perguruan tinggi. kedua, program orientasi haruslah bersifat mendidik (edukatif), misalnya memberikan pengenalan materi kepada mahasiswa baru mengenai mekanisme pebelajaran di perguruan tinggi yang jauh beberbeda dengan model pebelajaran di sekolah menengah.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa mutu pendidikan tinggi di Indonesia kemungkinan akan lebih berkualitas dan dapat sejajar dengan kualitas pendidikan tinggi di negeri jiran jika seandainya stake holders pendidikan tinggi termasuk policy makers (pembuat kebijakan) dan decision makers (pengambil keputusan) sebaiknya mereview, mengevaluasi, dan merevisi kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia secara periodic dengan banyak mempertimbangkan feedbacks atau umpan balik dari stakeholders pendidikan.(Penulis adalah Kandidat Doktor (PhD), Flinders University, Australia/Staf Pengajar FKIP Universitas Tadulako).
sumber: http://www.radarsulteng.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=30102
Tidak ada komentar:
Posting Komentar