Ditulis oleh Irwandi | |
Thursday, 30 October 2008 | |
Enam puluh tiga tahun (63) tahun sudah pendidikan tinggi Indonesia eksis dan berkembang di bumi persada ini, dimulai dari hanya memiliki 200 orang mahasiswa saja pasca perang dunia kedua, sampai sekarang berjumlah 4,3 juta mahasiswa dengan 155.000 dosen, yang tersebar pada 82 universitas negeri dan 2800 perguruan tinggi swasta. Dalam interval perjalanan panjang itu perguruan tinggi menghadapi berbagai masalah dan tantangan yang tidak sama dari masa ke masa. Dan satu pertanyaan mendasar -bisa juga dikatakan sebagai ekspektasi- yang selalu ditanyakan masyarakat adalah apa yang telah dikontribusikan perguruan tinggi untuk mencerdaskan dan mensejahterakan kehidupan bangsa ini. Salah satu masalah mendasar yang dihadapi perguruan tinggi adalah problem relevansi dan mutu yang tidak menggembirakan. Pendidikan tinggi belum bisa menjadi factor penting bagi kenaikan kesejahteraan masyarakat; pendidikan tinggi belum mampu melahirkan para entrepreneur/risk taker dengan orientasi job creating dan kemandirian; pengangguran terdidik dari pendidikan tinggi terus bertambah; belum lagi problem pengabdian masyarakat, di mana perguruan tinggi dirasa kurang responsif dan berkontribusi terhadap problem masyarakat yang berada di wilayah di mana kampus itu berdiri. Perguruan tinggi belum mampu melahirkan lulusan-lulusan yang memiliki akhlak mulia dan karakter yang kuat. Anarkisme/kekerasan intra dan inter kampus seperti membentuk lingkaran kekerasan. Tentu banyak juga prestasi yang telah dicapai, akan tetapi gaung masalah lebih bergema dibandingkan deretan prestasi-prestasi itu. Apa sebetulnya yang menjadi akar masalah. Apakah akarnya pada paradigma dan legislasi tentang pendidikan tinggi, atau pada implementasinya. Apakah ini problem kultural/mindset, legasi kolonial dan transisi paradigma pendidikan dari pendidikan Belanda ke Pola pendidikan Amerika yang tidak pernah tuntas. Apakah komunikasi yang tidak pernah terjadi perguruan tinggi dengan stakeholders, baik pada triple helix, maupun antara program studi dengan program studi, fakultas dengan fakultas, universitas dengan universitas lain. Melihat pemindaian sederhana ini, Bagaimana pendidikan tinggi Indonesia ke depan. Untuk itulah Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi berinisiatif menyelenggarakan sebuah Focus Group Discussion (FGD) pada 29 s/d 30 Oktober ini yang dihadiri oleh para stakeholder pendidikan tinggi. Mereka yang diundang adalah perwakilan perguruan tinggi, pihak Industri/pengusaha, Media, budayawan, Kadin, pemerintah daerah, LPND, organisasi kemasyarakatan, pemerhati dan praktisi pendidikan, dan penerbit. Dari Dikti hadir Dirjen Dikti yang langsung menjadi pengantar dan moderator FGD; para direktur dikti dan Dewan Pertimbangan Perguruan Tinggi (DPT). FGD dibagi dalam empat kelompok diskusi. Menurut Dirjen Dikti, Fasli Jalal, FGD ini hanya bersifat brainstorming, segala masukan yang sangat berharga dan sangat kaya dari peserta akan direkam, ditulis, dikristalisasi dan dianalisa dengan baik, serta menjadi acuan penting bagi penyusunan renstra pendidikan nasional terutama di bagian pendidikan tinggi, renstra jangka menengah dan panjang yang di susun oleh Bappenas. Setelah masukan dianalisa dan dikluster per tema, Dirjen meminta para stakeholder secara volunteer untuk bergabung sesuai dengan tema yang diminati pada FGD kedua nanti. By Irwandi sumber: http://www.dikti.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=224&Itemid=1 |
Jumat, 15 Mei 2009
Tantangan Pendidikan Tinggi Indonesia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar